Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendidikan, Tara Westhover, dan Manusia

31 Mei 2020   11:40 Diperbarui: 31 Mei 2020   11:55 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konsep pendidikan itu susah. Susah-susah gampang. Betapa merajut karakter tak semudah merajut benang menjadi kain. Kain menjadi pakaian. Karena saat kita menyuruh orang untuk melakukan sesuatu, kadang otak mereka berfikir sebaliknya. Jangan dibuka, artinya dibuka. Jangan dilanggar, artinya dilanggar. Mengingatkan saya pada suatu kejadian di siang hari.

Bukan konsep pendidikan secara kompleks di gerbang sekolah. Yang seperti proses copy paste file dari hardisk ke flashdisk. Jika kurikulum masih seperti sepuluh tahun silam saat saya masih sekolah. 

Program pokok sekolah seperti sekedar menambah wawasan. Bukan membentuk karakter menjadi pribadi yang bersaing dengan "hasil SDM" sendiri. Agak lucu, jika dua puluh tahun lagi, orang akan kalah bersaing dengan barang ciptaan mereka sendiri. Gara-gara kurikulum yang tak kunjung berubah.

Tulisan berlanjut pada suatu kisah. Yang kisah ini dituturkan oleh Gus Baha dalam salah satu pengajian beliau. Saya tidak begitu ingat pernah dengar di mana, Spotify, YouTube, atau potongan video Instagram dan Facebook. 

Yang jelas, beliau mengawali ceritanya dengan garis bawah bahwa ini adalah kisah nyata. Bahwa dalam mendidik anak, beliau tak bisa sembarang. Mengingat kejadian yang dialami tetangga beliau. Seorang kiai. Tapi punya prinsip hidup yang tertutup. Keras. Dan begitu melarang anaknya akan hal-hal yang berbau "pengaruh asing". 

Beliau masih beranggapan bahwa ajaran barat lama kelamaan tidaklah akan berdampak baik. Tidak ada televisi di rumah. Haram hukumnya. Tidak ada motor. Dan akan hal-hal yang bersifat negatif, kiai tersebut amat Sensitif. 

Tapi untuk poin terakhir rasanya tak ada yang salah. Perlahan dalam hati anak itu tumbuh pertanyaan. Mengapa dilarang? Kenapa harus sedikit-sedikit haram? Ada apa dengan televisi sehingga menontonnya itu tercela? Padahal anak sebayanya yang lain rutin bergosip di sekolah tentang acara yang sedang hangat di layar kaca. 

Anak yang lain bisa sangat fasih bicara tentang seorang tokoh anime dan kehebatannya. Sementara dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Seperti hal yang begitu asing. Mirip era 80an saat orang tua kita adalah termasuk pecandu sandiwara radio Misteri Gunung Merapi, dan Tutur Tinular. Kalau ngumpul pas main gundu, yang dibahas ya ceritanya Mak Lampir dan Sembara.

Kembali lagi... Maka diam-diam putra kiai tersebut melanggar petuah ayahnya. Dari tetangganya dia jadi tahu ada apa dibalik televisi yang selalu dikecam orang tuanya. Diam-diam dia pula belajar naik sepeda motor dari kawan dan tetangganya. Dan perlahan-lahan, lambat laun, seiring berjalannya waktu, dia mulai membenci doktrin yang diajarkan ayahnya. 

Hal ini terus berkelanjutan hingga pada puncaknya, dia begitu tak suka dan enggan jika harus dituntut untuk meneruskan perjuangan ayahnya, dia tak mau kalau disuruh jadi kiai. Dia pilih pergi. Konon ke kota Batam. Jauh disana dia tak mau kembali. Entah jadi apa. Entah bagaimana kabarnya. Pada akhirnya sang ayah pun gelisah. Gusar dan gundah gulana. Mengapa bisa terjadi demikian?

Ini mengingatkan saya pada sebuah artikel yang pernah saya baca dulu disway.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun