Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "The Fault In Our Stars"

3 April 2020   05:59 Diperbarui: 3 April 2020   06:01 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film drama romantis adalah kegilaan bagi saya. Tebak menebak, isinya pasti hanya seputar kalimat dari dua insan yang kasmaran. Seputar puisi atau bagaimana seorang pendongeng berusaha menerjemahkan arti kata bahagia. Setidaknya menurut pandangan mereka.

Tapi pernah seberapa kita menikmati kisah cinta? Jangan-jangan hanya romansa picisan yang penuh dengan linangan air mata. Atau justru derai tawa. Tidak lebih dunia novel kasih sayang hanya berkutat pada hal yang demikian menjemukan itu. Tapi tidak bagi The Fault in Our Stars.

Novel itu, atau setidaknya filmnya. Yang kedua adalah opsi terakhir. Sebab dunia visual itu bukan cara tepat menggambarkan seni bertutur. Kecuali saat novel ini mengajak kita jalan-jalan ke Amsterdam, dan menengok rumah Anne Frank. Lemari buku Anne Frank yang legendaris itu. Dan kalimat-kalimat yang begitu mendayu dalam buku hariannya. 

Setidaknya tidak sepenuhnya percuma saya nonton yang versi film. Saya hampir girang saat ada dialog "bagaimana kalau kita melihat museum Van Gogh?" Tapi percayalah. Itu cuma pemanis. Hal sebenarnya adalah saat kita menonton film dari novel-novelnya Dan Brown. Maka kita akan diajak jalan-jalan. Daripada mengikuti Agatha Christie, meskipun keliling dunia, tapi selalu mengunjungi orang mati. Sungguh ironi.

Jika tidak karena kata-kata yang menjadi aura film ini, novel ini, maka kisahnya sangat biasa. Biasa untuk ukuran 2020. Luar biasa untuk ukuran 2014. 

Film tentang dua penyintas kanker stadium akhir yang berusaha menikmati hidup mereka? Alangkah beruntungnya kita. Lahir tanpa harus meminum delapan jenis obat berbeda setiap hari. Lahir tanpa harus sebulan sekali menjalani kemoterapi. Yang mualnya luar biasa. Pusingnya luar biasa. Lahir tanpa harus bermain-main dalam dinginnya mesin MRI atau CT-SCAN. Lahir tanpa harus akrab dengan bau rumah sakit.

Hazel Grace adalah seorang penyintas kanker stadium akhir, yang hampir tak punya lagi semangat. Tak punya teman. Tak punya aktivitas apapun yang bisa menyenangkan dirinya, selain membaca sebuah buku. Selalu satu buku yang sama. Berulang ulang dia selesaikan. 

Buku tentang gadis kecil penyintas kanker pula. Yang kisah akhirnya mengambang, dan membuat dia begitu penasaran. Begitu ingin bertemu dengan penulisnya, untuk sekedar tahu bagaimana kelanjutan kisahnya. Satu-satunya alasan untuk tetap mau melakukan aktivitas mungkin hanya untuk membuat kedua orang tuanya senang.

Semua mulai berubah semenjak Hazel bertemu seorang penyintas kanker lain, Augustus. Dan menjadi sahabatnya. Augustus yang demikian ceria mulai memberikan warna di kehidupan Hazel. Membuat Hazel akhirnya memiliki motivasi untuk terus hidup.

Augustus punya kebiasaan unik. Kemana-mana membawa rokok. Namun dia bukan perokok. Tidak sama sekali. Dia hanya ingin mengatakan, "benda ini hanya berbahaya jika kita nyalakan". Begitu penuh racun, atau begitu mematikan, meski digigit di mulut sekalipun, tak akan berbahaya jika tanpa api. Semacam simbol tentang sakit yang diam-diam dia derita. Mungkin. "Taruh benda mematikan ini di gigimu, tapi jangan beri dia kekuatan untuk membunuhmu. Ini metafora."

Ketakutan Augustus adalah saat dia dilupakan. Baru berusia delapan belas, dan berjudi dengan keberuntungan. Apa jadinya jika dia tiba-tiba mati dan dilupakan? Tapi setidaknya banyak orang demikian. Memangnya, seberapa dari cucu yang masih ingat nama kakek buyutnya yang telah tiada? Memang sampai cucu yang ke berapa nama seorang kakek akan selalu terselip dalam doa? Kecuali, jika dalam hidup dia menjadi seseorang yang berarti. Dan ketakutan Augustus, mungkin adalah gejala saat ia belum berhasil melakukan sesuatu. Lalu apakah orang sehat yang "tak terancam kematian" pernah berfikir demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun