Mohon tunggu...
Kamni iwan
Kamni iwan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta hair stylist sekaligus owner boyz two men salon

Lahir jakarta 15 desember 1962. Jenis kelamin: pria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Otokritik terhadap Agama = Mengkritik Terhadap Tuhan?

12 September 2018   17:36 Diperbarui: 13 September 2018   12:48 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Agama terlahir ke bumi adalah sebagai media/konsep untuk mengenalkan manusia kepada Tuhannya selain pengajaran moralitas tentunya, institusi agama adalah organisasi yang didalamnya terdiri dari elemen dan sub elemen yang dijalankan otoritas manusia yang tujuannya utamanya untuk kemakmuran dunia dan kemulyaan akhirat, yang tak bisa terpungkiri akan terkontaminasi juga dari segala hajat kepentingan pribadi juga komunitas umatnya, baik itu pengaruh, kekuasaan ideologi dll.

Hal seperti ini bukan sebuah fenomena yang baru tapi sudah berlaku ribuan tahun sejak agama hadir ditengah peradaban manusia.

Dalam perjalanannya ajaran agama tidak selalu statis mapan seperti kitab sucinya yang diakui umatnya tak pernah terevisi, tapi pemahamannya lah yang dinamis lewat otoritas-otoritas penafsir ayat hingga melahirkan fatwa-fatwa baru untuk menyikapi realitas persoalan ditengah umatnya.

Apakah dengan melihat fenomena seperti ini lalu agama menjadi sesuatu yang masih tabu untuk dikritik karna kesakralannya, dan dianggap mengkritik agama sama juga dengan mengkritik tuhan sebagai pemilik agama

Ada dua pandangan kontradiktif ditengah masyarakat agamis, yang satu beranggapan agama adalah produk Ilahiah bukan produk ilmiah yang tak mungkin ada kesalahan titik, jadi tak layak agama untuk dikritisi. Sedangkan satu lainnya beranggapan apakah sesuatu yang lahir dalam rentang waktu ribuan tahun dan dijalankan otoritas manusia mampu bertahan dari keotentikannya tak terdistorsi dalam  ruang dan waktu.

Kita bisa belajar dari melihat realitas alam semesta yang menjadi repreprentasi ketetapan sistem hukum Tuhan, satu contoh sederhana. Gelombang suara saja (tanpa campur tangan manusia) dalam rentang jarak ruang dan waktu yang terbatas saja akan mengalami distorsi ditempat penerimaannya, bagaimana mungkin sebuah suara (ucapan) firman tuhan yang dimandatkan pada otoritas manusia dari sekian banyak personal,dari sekian jarak rentang waktu, tak terdistorsi oleh penerimanya (hambanya), apalagi penyampaiannya lewat otoritas manusia yang kodratnya tak lepas dari kepentingan-kepentingan yang saya sebutkan tadi.

Jadi menurut saya agama bisa saja salah tetapi Tuhan tak bisa disalahkan sebagai pemberi mandat, jadi bila terjadi otokritik terhadap agama jangan baper menilai seolah kita menyalahkan Tuhan juga menyalahkan sistem Tuhan, ini suatu yang beda, dimensi spiritual keimanan seseorang tak dapat diukur dengan seberapa besar atensi seseorang menggeluti ayat dan hadist, bila hal ini jadi parameternya, dia tak ubahnya seperti pengacara yang berkutat dalam diksi-diksi hukum seperti KUHP-KUHAP yang dipelajari di ruang kuliah tapi berkontradiksi dengan realitas ruang pengadilan. 

Belajarlah dari sesuatu yang telah jadi(amar putusan), bukan belajar dari sesuatu yang belum terjadi.(argumen-argumen hukum). Bila seperti ini akan membuahkan polemik-polemik kasus hukum tak berkesudahan seperti halnya polemik perbedaan aliran/mazhab agama yang dari dahulu hingga kini selalu memicu peperangan diberbagai belahan bumi.

Agama bertahan eksistensinya bukan karna realitasnya, tapi karna ingatan kolektiflah yang membuat agama tetap bertahan akan keberadaannya.

Pemiskinan terhadap nilai-nilai agama menurut saya, karna Tuhan telah tereduksi oleh kepentingan-kepentingan komunal hingga substansi nilai-nilai keIlahian universal Tuhan terdegradasi demi kepentingan golongan umat itu sendiri.

Kadang kita menilai eksistensi perilaku Tuhan selalu dengan parameter norma kebiasaan kita,seolah SangKhalik setara dan memiliki emosi jiwa bercita rasa seperti kita. Berangkat dari fenomena lahiriah inilah kita jadi membuat eksistensi Tuhan ikut terjebak kedalam ruang etika perilaku sosial kita, hingga Tuhan  dibuat menjadi begitu manusiawi sampai sampai mengikis esensi nilai keilahian yang dimilikinya, yang pada akhirnya Tuhan jadi terkambinghitamkan atas kepentingan kelompok manusia yang mengatas -namakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun