Para anggota tim sukses caleg-caleg tajir ini kemudian menamai para caleg dengan duit pas-pasan itu dengan sebutan ICMI, singkatan dari “Ikatan Caleg Melarat Indonesia” (maaf, bukan bermaksud menghina, melainkan hanya mengemukakan fakta yang ada di lapangan). Selanjutnya, izinkan saya untuk menyebut mereka dengan Caleg ICMI.
Oh ya, sebelum itu, perlu saya jelaskan: Mengapa tulisan ini hanya fokus pada caleg-caleg ICMI? Itu, lantaran karena pola pendanaan kampanye mereka sebagai caleg, yang cenderung terlalu memaksakan diri: menggadaikan properti, menguras tabungan, hingga berhutang. Berbeda dengan para caleg tajir, yang memang punya alokasi khusus untuk membiayai kampanye mereka. Jangankan Rp1 miliar, Rp 6 miliar pun mereka siapkan tanpa mengganggu arus cash flow keuangan rutin mereka. Jadi, jika pun gagal, tidak terlalu berpengaruh terhadap atmosfer kehidupan pascapemilu.
Berbeda, dengan caleg-caleg ICMI–yang kebanyakan bertarung di level DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota–jika gagal menjadi caleg. Tabungan terkuras, hutang menumpuk, dan sebagainya. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang menjadi stress, depresi berat, bahkan menjadi gila. Kompas edisi ini menulis tentang caleg-caleg DPRD Kediri yang mengaku terang-terangan pinjam uang Rp 75 juta hingga Rp 100 juta dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kompas juga menulis:
Sejumlah caleg asal Palembang, Sumatera Selatan, ramai-ramai jual mobil dan rumah. Beberapa dari Bogor, Jawa Barat, dan Pamekasan, Jawa Timur, menggadaikan barang berharga, seperti tanah dan perhiasan. “Saya terpaksa menggadaikan sertifikat rumah dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) mobil sedan,” kata Ali Wasiin, caleg DPRD Kabupaten Nganjuk dari PKB. Pengusaha agrobisnis itu sudah menghabiskan Rp 200-an juta untuk kampanye. Seorang caleg DPR Kabupaten Bantul, sebut saja Rudi, mengaku menjual sawah dan kebun warisan orangtua demi mengumpulkan uang Rp 150 juta. Dana itu untuk beli nomor urut 1 (saat belum ditetapkan pemilihan berdasar suara terbanyak) dan biaya kampanye. “Eh, ternyata sekarang enggak pakai nomor urut lagi,” katanya.
Kini, kekhawatiran media massa tentang caleg-caleg ICMI yang gagal dan kemudian depresi berat ternyata mulai terbukti. Di Tangerang, seperti diberitakan Tv-One di sini, seorang calon legislator daerah pemilihan Tangerang, di perumahan elit Alam Sutera Kunciran, stres dan marah-marah karena kalah dalam pemilu legislatif 9 April lalu. Sekitar pukul 17.00 WIB saat penghitungan suara dilakukan, seorang pria (40) yang merupakan caleg dari partai tertentu, terlihat frustasi saat mengatahui kalah dalam perolehan suara.
Dia merangkak di pinggir jalan dengan membawa-bawa cangkir sambil meminta-minta uang kepada orang yang berlalu lalang, katanya kembalikan uang saya, kata caleg itu. “Ia diketahui kalah dalam perolehan suara, namanya ada di daftar pemilih tapi kalah dalam pemilihan,” kata salah seorang petugas KPPS Tedi, sabtu 11 April 2009.
Caleg ini mengalami stres berlebihan, hingga mengalami depresi. Sebab tingkah lakunya sudah seperti orang gila, dengan rambut yang masih klimis, dan hanya mengenakan celana pendek, bahkan menjadi bahan ejek anak-anak.
Warga yang menyaksikan ulah caleg aneh itu, tidak ada yang berani mendekat dan hanya melihat dari jarak kejauhan saja. “Bahkan sesekali ia melempari warga dengan cangkir sambil marah-marah,” tutur Tedi. “Saya tidak perlu sebut nama dan partainya tidak enak mas, yang jelas nama dia masuk daftar caleg,” ujar Tedi.
Sementara itu, seorang caleg Hanura di Bali diberitakan mendapat serangan jantung. Ia pun meninggal dunia. Kompas edisi ini menulis Ni Putu Lilik Heliawati (45), caleg nomor tiga Partai Hanura untuk DPRD Buleleng, meninggal dunia secara mendadak di rumahnya Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Heliawati diduga meninggal akibat serangan jantung setelah menerima telepon dari tim suksesnya bahwa perolehan suara yang bersangkutan tidak memenuhi harapan.
Bahkan, tak hanya caleg yang berpotensi stress. Di Medan sudah ada tim sukses caleg DPRD yang diberitakan mencoba bunuh diri (di sini).
Akhirnya, menanggapi mulai bermunculannya caleg ICMI yang stress, saya hanya bisa berkata: “Jika diibaratkan bahwa Pemilu adalah sebuah medan peperangan, semestinya para caleg itu harus sudah siap menerima resiko. Jika tak siap kalah, ya jangan maju dong. Atau, jika memang tak punya ‘dana perang’ cukup, ya ndak usah memaksakan diri dong.”