"Saya terima nikahnya, Desi Ratnasari binti Paimo dengan mas kawin seperangkat alat sholat beserta masjidnya. Dibayar tunai".
Ah, itu sih sudah jamak. Bagaimana kalau mas kawin dibayar via ATM atau cek pelawat? Boleh-boleh saja. Wong, mas kawinnya ngutang, juga sah kok. Pelunasannya nicil juga tak dilarang. Itu syariatnya. Kalau soal lumrah atau tidak, tergantung persepsi masing-masing. Serta tergantung seberapa "urakan" si mempelai, bukan?
Dulu, karib saya punya rencana "busuk" pada hari pernikahannya sendiri. Â Dia berencana memainkan drama tawar-menawar mas kawin. Itu memang bukan pantangan. Termasuk saat ijab kabul.
Jadi rencananya, si mempela wanita akan "menaikan harga" dan meminta agar mas kawinnya ditambah. Motifnya, cuma gokil-gokilan semata.
Tapi rencana bulus itu dikensel karena ketahuan orangtuanya. Tentu saja sang ortu tak berkenan, karena dianggap mengurangi kesakralan pernikahan itu sendiri. Kalaupun ada tawar menawar mas kawin, ya saat lamaran. Sekaligus itung-itungan biaya pesta perkawinan, begitu kan?
Tapi soal kelumrahan dalam hal tata cara berkawin, memang berkembang sesuai zaman. Semasa kecil saya dulu di kawasan Banyumas, ada tradisi yang disebut "jujug". Yakni mengantar calon mempelai pria ke wanita, beberapa hari sebelum ijab kabul. Pihak pria akan membawa beraneka barang, baik untuk keperluan pesta hajatan maupun keperluan rumah tangga.
Misalnya membawa ekor sapi atau kambing, kelapa, dan lainnya. Banyaknya barang yang dibawa (kambing, sapi, kayu bakar, buah kelapa, dll) selain untuk memenuhi kebutuhan pesta juga sebagai ajang gengsi.
Malu rasanya asok ke calon mertua kok cuma sesongel. Pasalnya, jumlah barang yang dibawa menjadi tontonan (dan mengundang komentar) khalayak.
Kalau barang yang dibawa cuma sedikit, malunya dobel. Pengantin pria tengsin karena ketahuan miskin (atau pelit). Mempelai wanita juga birang karena dianggap "dihargai" murah.
Saat kakak menikah, Bapak saya punya "konsep" baru. Menurut beliau, tak perlu bawa barang-barang macam kambing, kelapa, kayu bakar, dan semacamnya. Ribet, tak praktis, serta mahal karena harus sewa kendaraan. Mengapa tidak berupa uang saja? Lebih praktis dan tepat sasaran. Yang penting jumlahnya sesuai kebutuhan (dan sesuai kesepakatan bukan)?
Kendalanya, kalau berupa uang nanti "tidak kelihatan". Masyarakat akan mencibir, kawinan kok modal dengkul alias tak punya modal. Padahal, ada partisipasi untuk pesta berupa uang yang cukup juga.