Mohon tunggu...
agustinus dwi winarno
agustinus dwi winarno Mohon Tunggu... -

aku hanya manusia biasa, dan tak lebih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Batik, Globalisasi, dan Dehumanisasi

2 Juni 2010   15:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 3115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Berbicara tentang batik memang tidaklah mudah. Banyak orang mengidentikkan batik dengan daerah Jawa khususnya Yogjakarta dan Surakarta. Bahkan, ada yang menyebutkan di situlah kiblat dari muncul dan perkembangan dari Batik. Padahal, Batik juga dikenal di berbagai daerah di Indonesia antara lain di pantai utara Jawa dan Madura, Sulawesi Tenggara, Paseban di Kubingan, dsb. Jadi, Batik merupakan salah satu simbol kebudayaan nasional dan memperlihatkan hubungan erat antara batik dan falsafah keseharian hidup masyarakat dan pemakai batik.

Namun, zaman sekarang banyak pengrajin dan pemakainya sudah tidak lagi terlalu memperhatikan falsafah yang terkandung dalam goresan-goresan batik itu. Para pengrajin hanya memikirkan bagaimana membuat dan mencari motif baru yang laku di pasaran, sedangkan para pemakai hanya berpedoman bahwa pakaian batik yang dikenakannya bisa menghangatkan dan menarik untuk dilihat. Batik dibuat dan dipakai asal jadi tanpa memperhatikan makna yang terkandung di dalamnya, seperti makanan yang dibuat dan disajikan ala kadarnya tanpa melihat nilai gizi dan proses pembuatannya.

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat telah mengalami banyak perubahan. Bermula dari kultur agraris menuju masyarakat industrialisasi yang mengutamakan keuntungan, penambahan produksi, dan motif bertahan untuk tetap hidup. Kondisi semacam ini memaksa masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian termasuk penyesuaian nilai dan norma-norma dalam masyarakat sekarang.

Keberadaan batik juga ikut terpengaruhi oleh kondisi ini. Globalisasi yang berorientasi pada pasar mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan batik. Barang-barang lokal menyebar ke berbagai tempat, dan barang-barang baru masuk. Kegiatan pertukangan, kerajinan, termasuk batik ditujukan untuk menghasilkan barang yang memiliki nilai jual sehingga semuanya dihubungkan dengan ‘permintaan pasar’ dan harga. Contohnya: beberapa bulan yang lalu harian Seputar Indonesia memberitakan beberapa perajin batik di Bantul meminta bantuan dana dari pemerintah karena mengalami kesulitan keuangan dan promosi. Orang tidak lagi memikirkan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam barang yang dibuat maupun dipakainya, tapi lebih memikirkan masalah seberapa uang yang dapat dihasilkan.

Orientasi pada pasar ini tidak hanya terjadi di daerah tertentu, tapi ini juga terjadi secara global. Maka, tidak mengherankan jika beberapa waktu yang lalu terjadi peristiwa dimana pemerintah Malaysia ingin mematenkan batik sebagai milik mereka. Langkah itu tentu saja untuk menunjukkan bahwa batik merupakan hasil kebudayaan mereka dan mengantisipasi jangan sampai batik menjadi milik orang lain dengan adanya mobilitas barang-barang baru yang makin tak terkontrol. Dapat dimengerti juga kenapa Keraton Cirebon sulit mengeluarkan motif-motif batik keratonnya kepada khalayak dan melarang para perajin Batik untuk menciptakan motif-motif baru kalau belum ada izin dari keraton. Maka, jelaslah akibatnya bahwa batik Cirebon kehilangan pamornya di pasar, karena terkendala adanya “unggah ungguh” itu (tata krama).

Motif pasar yang mengutamakan keuntungan mengakibatkan orang untuk berpikir bagaimana cara membuat barang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka, mereka berlomba-lomba menciptakan suatu teknologi/mesin dan seminimal mungkin menggunakan jasa manusia. Batik memang harus mengikuti perkembangan zaman untuk tetap hidup, tapi haruskah batik yang sarat akan makna dan falsafah hidup orang Indonesia (khususnya Jawa) ini didikte oleh pasar? Apakah sudah waktunya manusia menjadi budak dari teknologi?

BATIK SEBAGAI SEBUAH KEBUDAYAAN

1. Pengertian Batik dan Sejarahnya[1]

Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga batik berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Dan, saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Langka, dan Iran, serta beberapa negara di Afrika. Jadi, batik tidak identik dengan budaya Indonesia (khususnya Jawa) karena batik juga dikenal di negara lain.

Batik Indonesia juga tidak luput dari pengaruh luar. Misalkan dalam pengambilan warna dan coraknya: warna merah dan corak phoenix dipengaruhi oleh orang Tionghoa, warna biru dan corak bunga-bungaan dari Eropa (penjajah). Namun, batik tradisonal masih tetap mempertahankan corak atau coraknya sendiri, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena memiliki lambangnya masing-masing. Kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu karena motif itu diwariskan kepada keturunannya sendiri dan tidak boleh keluar dari lingkup keluarga itu. Beberapa motif batik juga dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton Yogjakarta dan Surakarta.

Kata Batik berasal dari kata amba (bahasa Jawa), yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" yang dibubuhkan ke atas kain dengan menggunakan canting dan membentuk motif-motif tertentu. Awalnya, kain yang digunakan adalah kain yang terbuat dari kapas, namun pada perkembangannya juga digunakan sutera, poliester dan rayon. Selain itu, pekerjaan membantik amat dekat dengan dunia perempuan bahkan dijadikan mata pencaharian mereka. Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Sujoko (alm) – pakar seni rupa dari ITB – yang mengatakan, “Pelukis pertama dari Indonesia adalah perempuan Jawa yang melukis dengan canting di atas bahan tenunannya.” Dan, saru setelah ditemukan batik cap, laki-laki mulai masuk dalam dunia per-batik-an. Hal ini jugalah yang ikut berperan mengapa batik tulis sekarang ini kalah saing dengan batik cap yang dinilai lebih efisien dan menguntungkan, meski miskin seni dan falsafah hidup masyarakat Indonesia.

2. Kebudayaan Batik

Secara etimologis, kebudayaan berasal dari kata budi. Jadi kebudayaan adalah apa saja yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia, yang mencakup hasil cipta, rasa, dan karsa (budi, kehendak, dan perasaan). Namun, dalam perkembangannya ada sarjana yang membedakan antara ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Budaya adalah ‘daya dari akal budi’ (cipta, rasa, dan karsa), sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dan, masyarakat saat ini cenderung mengikuti pengertian yang kedua, yaitu kebudayaan dipandang sebagai the general body of the art, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian indah dari kehidupan manusia.[2] Maka dari itu, dengan mengacu pada pengertian di atas batik bisa disebut sebagai sebuah kebudayaan. Dan, kebudayaan batik ini sudah lama ada dan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia.

Semua bentuk kebudayaan memiliki sifat unsur yang universal.[3] Kesamaan itu mencakup: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Batik pun juga mempunyai sifat-sifat universal itu. Batik menampilkan keindahan dan menyimpan kedalaman spiritual yang terpancar dalam motif-motifnya yang sakral. Maka dari itu, jenis kain yang digunakan juga ikut mengalami perkembangan. Bahkan, bagi para pembuatnya, batik juga mempunyai makna tersendiri. “Canting (carat tembaga untuk membatik) bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan nafas dan perasaan.”[4]

Batik menjadi gambaran hidup masyarakat Jawa secara keseluruhan. Itulah yang membuat batik menjadi karya seni sangat istimewa. Baik dalam proses pembuatan, filosofi yang terkandung, hingga etika dan tata cara pemakaiannya. Proses pembuatan kain batik dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa, dan melalui serangkaian ritual tertentu. Salah satunya adalah dengan puasa tidak makan, minum, tidur dan menghindari hal-hal duniawi, bersemedi dan pembacaan doa-doa, serta selametan. Ini dilakukan untuk menciptakan motif baru batik. Maka dari itu, Batik memiliki banyak nilai rohani dan diyakini mengandung nilai filosofi yang tinggi terungkap dari motifnya.

Penciptaan motif batik biasanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya. Contohnya[5]: Motif Parang Rusak Barong – diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri; Motif Sawat bermakna ketabahan hati; Motif Cemungkiran (lidah api/sinar) melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan keagungan. Selain itu, ada beberapa motif batik yang sebaiknya dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Jawa. Peristiwa-peristiwa penting itu adalah peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kesripahan (kematian).

Saat mengenakan bati pun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi. Contohnya: Bagi kaum perempuan, mata kaki harus tertutup dan bagian atas sebaiknya dibuat agak longgar sehingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya.

Jadi, dalam batik dan dalam proses pembuatannya banyak mengandung makna filosofis, segi religius, serta aturan-aturan yang harus dipatuhi. Namun, bagaimana kenyataannya sekarang dengan zaman yang telah berubah? Apakah masyarakat sekarang masih memikirkan dan menangkap makna-makna yang terdapat dalam batik?

BATIK Vs PASAR

Bangsa Romawi menyebut kebudayaan dengan cultura (colere – bahasa Latin) yang berarti bercocok tanam, bertani. Dari sini dapat dikatakan bahwa kebudayaan bermula dari lingkungan pertanian (agraris). Kebudayaan ini terus menerus berkembang hingga sampai pada zaman sekarang ini yang selalu dikaitkan dengan kegiatan industri dan tidak dapat terpisah dengan peran teknologi. Sistem bertani berubah menjadi sistem industri yang mengacu pada penciptaan barang baru, secara cepat, dan banyak demi mengeruk keuntungan setinggi-tingginya, serta mengarah manusia untuk berorientasi terhadap pasar.

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respon yang tepat karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan kekayaan bagi berbagai kelompok dan masyarakat. Proses ini telah membawa ‘pasar’ menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai-nilai baru dan perubahan karakter masyarakat modern dewasa ini, yang oleh kahl diciri-cirikan sbb[6]: mempunyai pandangan aktif terhadap hidup, tidak banyak bergantung pada kaum kerabat, orientasi pada kehidupan kota, individualisme, cenderung demokratis, butuh media massa, kurang percaya dan bersandar pada orang lain, dan mempunyai kebutuhan rendah terhadap aktivitas religi.

Globalisasi yang berorientasi pada pasar mengakibatkan manusia memandang manusia lainnya bukan sebagai makhluk yang luhur tapi hanya melihat manusia berdasarkan kemampuan dan keterampilannya untuk mendatangkang keuntungan matiriil baginya (dehumanisasi). Inilah akibat kalau modernisasi ditafsirkan secara lahiriah saja yang mengutamakan pencapaian hidup enak. Manusia menjadi terpukau dan berorientasi pada nilai-nilai permukaan, bukan pada pencarian nilai-nilai yang lebih mendalam, yakni manusia itu sendiri.

Ini juga berimbas pada keberadaan batik. Batik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang adi luhung dengan nilai-nilai filosofis di dalamnya maupun para pembuat dan pemakainya. Karena tuntutan pasar, para pembuat batik tidak lagi menganggap penting segala ritual untuk mengiringi proses pembuatan batik. Mareka tanpa malu-malu menjiplak motif-motif yang sudah ada tanpa menghiraukan nilai ke’sakral’annya. Kemudian, ada juga yang memproduksinya secara masal dengan teknologi batik printing atau batik cap, meski hasilnya dinilai oleh beberapa kalangan sebagai batik yang tidak mempunyai getar, tak ada greget, datar dan hambar. Sedangkan, para pemakainya sudah tidak mau tahu dan tidak mengenal nilai-nilai yang ada pada batik.

Orientasi terhadap pasar ini jugalah yang membuat para pengrajin tradisional, yakni mereka yang masih mempertahankan batik tulis dan masih melakukan beberapa ritual dalam proses pembuatannya gulung tikar karena kalah bersaing dengan batik hasil dari mesin-mesin. Di samping kalah dalah hal jumlah produksi, efisiensi tenaga dan waktu, batik tulis pasti juga jarang mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan besar dalam hal permodalan. Kalau ini dibiarkan terus menerus terjadi, batik tulis ini hanya tinggal sejarah dan peran manusia akan tergantikan dengan mesin-mesin.

TEROBOSAN DAN KESADARAN BARU

Kebudayaan itu selalu berubah atau tidak statis karena kemajuan zaman. Adapun yang mengalami perubahan adalah manusianya sendiri, selain unsur-unsur dari kebudayaan. Penyebaran (diffusion) kebudayaan dan pertemuan (convergence) kebudayaan menghasilkan kebudayaan baru (campuran).[7] Demikian juga halnya dengan keberadaan batik untuk menunjukkan identitasnya sebagai sebuah kebudayaan.

Sebelum terjadinya era globalisasi, perkembangan dan pengenalan batik kepada khalayak terhambat dengan adanya tata krama yang harus dipatuhi oleh pembatik. Kalau orang ingin membatik dengan motif tertentu, mereka harus memohon izin dari pihak keraton (misalkan: keraton Cirebon atau Yogyakarta) yang merupakan ‘pemilik’ motif-motif batik. Tidak sembarangan orang bisa membatik. Jika tradisi ini masih dipertahankan, bisa saja batik lama kelamaan akan mati. Maka, sangat dibutuhkan beberapa inovasi dan bantuan dari pengusaha besar serta pemerintah. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal dan memberi penghargaan kepada pengrajin batik serta memasukkan batik sebagai kebudayaan nasional yang harus dipertahankan karena memiliki nilai-nilai luhur, khususnya dalam hal penghargaan akan martabat dan karya manusia daripada hasil ciptaan manusia.

Batik dahulu termasuk kebudayaan yang mempunyai nama besar, dan setiap orang yang mengenakan batik pasti bangga kerena status sosialnya dapat dilihat dari pakaian batik yang dikenakannya. Namun, zaman telah berubah maka amatlah penting munculnya suatu terobosan baru (inovasi) untuk mempertahankan kebudayaan batik adalah dengan munculnya ‘Batik abstrak kontemporer’ yang dipopulerkan oleh Tetet Cahyati Popo Iskandar, yang masih mengandalkan tangan-tangan manusia, bukan dengan mesin-mesin (Harian Seputar Indonesia, 16 Oktober 2008). Meskipun batik ini kontemporer, namun di dalamnya terdapat arti filosofisnya, yakni meliorisme – bagian terakhir dari 3 falsafah kehidupan, yakni pesimisme, optimisme, dan meliorisme. Jadi, bisa dikatakan bahwa cara untuk bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan pula dengan memusuhi, tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan nama besarnya, ketika itulah ia melihat harapan.[8]

Dengan masih eksisnya kebudayaan batik, khususnya batik tulis secara tidak langsung menciptakan suatu pemahaman bahwa manusia masih merupakan subjek sekaligus objek dari kebudayaan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menggeser posisi manusia itu. Manusia bukan korban atau budak dari ciptaannya sendiri (ilmu pengetahuan dan teknologi), namun harapannya adalah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia semakin memanusiakan dirinya sendiri. Artinya, semakin manusia cerdas dan pandai dalam menciptakan teknologi, manusia semakin menyadari nilai dan makna dari dirinya sendiri.

Kesadaran itu mencakup kesadaran moral, kesadaran sosial dan kesadaran kosmis. Kesadaran moral di sini berkaitan dengan kesadaran akan yang baik dan buruk bagi kehidupan manusia, dengan cara menghargai hak-hak asasi dan martabat manusia. Kesadaran sosial lebih mengacu pada sikap hidup yang menayadri bahwa manusia bergantung dan membutuhkan peran manusia lain. Sedangkan kesadaran kosmis berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melihat bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta dan bersatu dengan alam.

Teknologi sebenarnya tidak akan menjadi senjata yang mematikan manusia jika manusia melihat manusia lainnya tidak dari segi keterampilan, kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Manusia hendaknya melihat sesamanya sebagai makhluk yang luhur karena dengan akal budinya manusialah yang menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan tujuan awalnya bukan untuk menghancurkan manusia, tapi membantu manusia agar semakin sejahtera dan hidup penuh dengan nilai-nilai yang dihidupi.

Daftar pustaka

Atmowiloto, Arswendo. Canting. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Bakker, J.W.M., SJ. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Dahler, Franz, Dr. dan Julius Chandra. Asal dan Usul Tujuan Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Puspito, Hendro, Oc. Teori Kebudayaan. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 1986.

Sujarwa, Drs. Manusia dan Fenomena Budaya. Yoyakarta: Universitas Ahmad Dahlan, 1999.

Sumber-sumber lain:

http://dunianyamaya.worldpress.com/2008/04/09/ makna spiritual batik, diakses tanggal 17 Oktober 2008.

http://www.wikipedia.org, pengertian batik dan sejarahnya, diakses tanggal 17 Oktober 2008.

[1] http://www.wikipedia.org, pengertian batik dan sejarahnya, diakses tanggal 17 Oktober 2008.

[2] Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan, 1999, hlm. 9.

[3] Ibid., hlm. 11.

[4] Arswendo Atmowiloto, Canting, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 356.

[5] http://dunianyamaya.worldpress.com/2008/04/09/ makna spiritual batik, diakses tanggal 17 Oktober 2008.

[6] Sujarwa, Loc. Cit., hlm. 15.

[7] Hendro puspito, Teori Kebudayaan. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 1986, hlm. 158.

[8] Arswendo Atmowiloto, Loc. Cit., hlm. 403.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun