Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuyul dan Makhluk Gaib Lainnya dalam Sejarah Ekonomi Jawa

20 Oktober 2010   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DALAM tradisi historiografi di Indonesia akan sulit ditemukan cerita tentang sesuatu “yang tidak ada”, “suatu yang tidak berwujud” atau gaib. Padahal, sesuatu “yang tidak berwujud” itu, di dalam suatu kurun waktu tertentu juga menjadi bagian dari proses sejarah. Hal ini dapat dilihat dalam konteks tuyul atau makhluk-makhluk gaib lainnya yang secara sosio-kultural menjadi bagian dari masa lalu dan berkaitan dengan persoalan ekonomi, bahkan terus hidup dalam masyarakat Indonesia. Tetapi karena tuyul dan makhluk-makhluk gaib itu dianggap “tidak ada” atau “tidak nyata wujudnya” dan dokumen-dokumen juga tidak menyatakan keberadaannya, maka dianggap tidak ada sejarah yang perlu dikaitkan dengan hal itu (Bambang, dalam kuliah Kapita Selekta program pascasarjana UGM dan Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!: 44).

Orang baru menyadari bahwa “yang tidak ada” dan “tidak nyata” itu juga bagian dari sejarah Indonesia sejak Peter Boomgaard menulis hubungan antara tuyul dan makhluk gaib lainnya dalam perubahan ekonomi di Jawa pada masa Kolonial (Bambang, Gagalnya…: 44). Tentu saja Boomgaard dalam tulisannya, yang akan dibahas berikut ini, bukan bertujuan untuk membuktikan bahwa makhluk-makhluk gaib itu ada dan nyata—ada atau tidaknya kahluk-makhluk tersebut tidaklah penting—melainkan menunjukkan bahwa makhluk-makhluk itu hadir dalam mentalitas (ekonomi) masyarakat Jawa pada masa kolonial.

***

Boomgaard memulai karangannya, Illicit riches: Economic development and changing attitudes toward money and wealth as reflected in Javanese popular belief, dengan menjelaskan tuyul. Tuyulterlihat seperti seorang anak kecil, berusia tiga atau empat tahun, pendek, berkulit gelap, dan sangat kotor oleh karena memiliki hidung yang selalu ingusan. Tuyul suka dimanjakan; jika tidak, ia akan marah. Sebagai aturan, pemilik tuyul akan melakukan apapun semampunya untuk menghindari hal ini, karena jika si tuyulmarah ia menolak untuk pergi mencuri. Dan mencuri—tanpa terdeteksi—adalah suatu keharusan bagi tuyul untuk membuat pemiliknya kaya. Kadang-kadang sang pemilik membawa tuyulnya di kerumunan, seperti di pasar besar atau tempat belanja lainnya, lalu membawanya pulang dengan uang hasil curian tuyul di sana. Tuyul tidak bisa dilihat siapa pun kecuali pemiliknya sendiri dan ahli supranatural seperti seorang dukun. Barang siapa yang ingin memiliki tuyul, ia harus pergi ke dukun, yang “berilmu hitam”, yang bisa membuat kontrak dengan dengan setan.

Pemilik tuyul harus membayar sesuatu untuk permintaannya menjadi kaya secara tiba-tiba dan terlarang. Bagi mereka yang menikmati kekayaan ini diharuskan untuk mengorbankan manusia (biasanya anggota keluarga keluraga atau pelayan) secara teratur, dan kematian mereka sendiri juga akan cepat dan/atau mengerikan. Tuyul juga harus disusui oleh seorang perempuan, meskipun menyakitkan dan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu.

Tuyul bukanlah hantu yang telah ada sejak begitu lama. Paling tidak, dia tidak tampak dalam literatur sebelum 1929, ketika ia digambarkan dengan singkat oleh Drewes. Dia tidak bisa ditemukan dalam ikhtisar klasik tentang hantu yang ditulis oleh Hien. Ia juga tidak hadir dalam karangan serupa yang lebih lengkap yang ditulis oleh Supatmo, yang bisa dihargai sebagai ikhtisar terbaik tentang hantu di bawah pemerintahan kolonial.

Tuyulbanyak ditemukan Clifford Geertz ketika ia melakukan studi lapangan di Modjokuto, selama 1952-1954. Sepanjang pengetahuan Boomgard, Geertz adalah sarjana pertama yang mendeskripsikan tuyulsecara panjang dan rinci, aktivitasnya, macam-macam orang yang menjadi pemiliknya, serta cara untuk memperolehnya. Tentu saja tuyultidak “ditemukan”, baik oleh Geertz maupun oleh Drewes, tetapi mungkin lebih aman jika kita mengatakan bahwa sebelum 1929 tuyul sungguh merupakan cerita yang sangat minor (Boomgaard, Illicit…: 197-98).

Sebelum Boomgaard, sebenarnya telah ada yang menulis tema serupa, yaitu G. Quinn dan Michael Taussig. Akan tetapi Boomgaard memiliki perbedaan dengan kedua penulis tersebut. Quinn tampaknya berpikir bahwa cerita-cerita tuyulmerefleksikan keadaan masyarakat Jawa. Menurut Quinn, masyarakat Jawa menggunakan cerita-cerita itu sebagai pembenaran atas ‘pemenuhan-diri tanpa uang’ dan dengan demikian juga untuk menghakimi ‘perdagangan berbasis-uang’ secara negatif. Sedangkan Taussig melihat cerita-cerita orang Kolumbia tentang kontrak dengan setan dan ‘babtized money’ sebagai respon terhadap penetrasi kapitalisme modern dengan hubungan impersonalnya dan ‘komoditas fetisisme’, bukan terhadap uang dan perdagangan.

Marilah kita melihat argumen Quinn terlebih dahulu. Meskipun kapitalisme modern terlambat tiba di Jawa, menurut Boomgaard, kita tidak seharusnya berasumsi bahwa masyarakat ini sebelumnya tidak mengenal uang dan bahwa perdagangan adalah fenomena marjinal. Koin perak dan emas pribumi telah digunakan pada awal abad ke-18, dan koin tembaga Cina telah beredar jauh lebih dahulu pada abad ke-13. Bahkan, penemuan arkeologis menunjukkan bahwa pada masa pembangunan keraton Ratu Boko, di Yogyakarta, telah dikenal mata uang emas dari Gujarat yang bergambar Raja Candra Gupta II—yang berkuasa antara 380-415—dan burung garuda dan Dewi Laksmi (Helisu Sjamsuddin, Metodologi Sejarah: 249). Menurut Anthoni Reid (Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1480-1680: 1-2), Jawa adalah bagian penting dari “zaman perdagangan”. Di Jawa, pada masa itu, bahkan telah muncul kota-kota pusat perdagangan seperti Banten, Jepara, Gresik, dan, kemudian, Batavia. Melalui jaringan pasar pedesaan, gerak perdagangan ini sampai ke lingkungan dusun. Sebagian perdagangan lokal dilakukan dengan barter, tetapi tetapi pertukaran komoditas dengan uang juga dipastikan telah ada. Pada abad ke-16 koin perak dan emas Spanyol dan Portugis beredar luas, dan pada abad ke-17 disusul dengan uang perak Belanda. Selama abad ke-18 uang (doits, duiten) Belanda semakin mempenetrasi area pedesaan Jawa.

Sekitar 1800, banyak transaksi dan pajak telah diuangkan. Pekerja-pekerja pribumi di wilayah Jawa juga telah dibayar dengan uang. Barter masih ada tetapi hanya terjadi di wilayah-wilayah yang jauh tidak terjangkau dan di wilayah pegunungan yang sulit diakses. Selama tanam paksa, koin tembaga Belanda telah menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah (Boomgaard, Illicit…: 197-99).

Dengan bukti-bukti itu, masih bisakah kita, dengan segala kejujuran, mengatakan bahwa masyarakat ini masih didasari oleh ‘pemenuhan-diri tanpa uang’? barangkali tidak. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa cerita tuyulmenjadi populer karena transaksi dan perdagangan moneter adalah hal baru dalam masyarakat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun