Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stereotip Kriminal dan Kekuasaan

1 Oktober 2010   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:49 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak orang menganggap bahwa konstruksi aturan hukum adalah pasti dan baku, memang demikian adanya, atau turun dari langit. Padahal penentuan mana yang legal dan ilegal, siapa kriminal dan bukan, dan bagaimana harus memperlakukan pelanggar hukum adalah tindakan politik. Dibikin oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk memutuskan beserta mereka yang dapat mempengaruhi pencipta hukum (moral entrepreneur). Sebab itu, pada masyarakat atau negara yang berlainan, bahkan di suatu tempat yang sama dengan penguasa yang berbeda, terdapat banyak selisih mengenai mana yang legal dan mana yang tidak. Sebab itu pula tidak jarang ditemukan aturan-aturan hukum yang mewakili kepentingan penguasa dan mereka yang memiliki kekuasaanlah yang paling kerap diuntungkan oleh aturan-aturan hukum.

***

Pip Jones pernah mengungkapkan bahwa kajian laporan pribadi (self-report) di Inggris, yang meminta orang-orang secara sukarela menceritakan tindakan kriminal yang sempat mereka lakukan pada masa lampau, menunjukkan bahwa 50 hingga 90 persen dari mereka pernah melakukan kejahatan yang dapat diajukan ke pengadilan. Lebih lanjut, bahwa kejahatan itu tersebar di berbagai golongan—sayangnya kajian serupa ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun pada umumnya orang berasumsi bahwa kejahatan cenderung dilakukan oleh pemuda dari kelas bawah. Jika disuruh menggambarkan tipikal penjahat yang tidak manusiawi, orang akan cenderung menggambarkan penampilan orang-orang dari kelas bawah (kumuh, memakai pakaian yang “tak layak”, mempunyai rajah, dan seterusnya) ketimbang penguasa atau kelas atas (beraroma wangi, berpakaian rapi, berambut klimis, berperut buncit, dan seterusnya).

Seseorang mungkin akan panik lalu menelpon polisi jika melihat sosok berpenampilan lusuh berdiri di depan pagarnya, padahal sosok tersebut bisa jadi adalah kiriman dari perusahaan yang ia minta untuk memperbaiki saluran airnya. Sejumlah pribadi di keramaian mungkin terkecoh dengan mengawasi seseorang yang bertato yang berada di sampingnya, padahal yang hendak mencopetnya adalah seseorang berkemeja putih, bersepatu mengkilap, dan membawa koran yang berdiri di belakangnya.
Mengapa demikian? Ada banyak alasan yang menyebabkan manusia dari hierarki sosial di atas kelas buruh tidak mendapat stereotip kriminal. Seperti ketidakpercayaan terhadap polisi, kurangnya keberanian, pengetahuan soal hukum, kemampuan finansial, dan waktu yang dimiliki orang-orang, terutama dari kelas bawah, untuk memperkarakan pelanggar hukum yang berasal dari kelas atas. Kejahatan yang dikerjakan oleh orang kecil juga biasanya lebih sederhana, merupakan kejahatan kecil, kasat mata, dan/atau relatif mudah dijatuhi hukuman. Sedang kejahatan yang dilakukan kelas atas adalah sebaliknya. Orang-orang dari kelas atas relatif mampu membayar pengacara yang paling pandai bersilat lidah, dekat dengan kekuasaan, dan mampu menyuap. Oleh karena itu statistik resmi mengenai penjahat dan kejahatan yang berhasil dimejahijaukan dan dijatuhi hukuman menunjukkan bahwa mayoritas penjahat adalah orang-orang kelas bawah, dan mayoritas kejahatan adalah kriminalitas jalanan.

Permasalahan yang sangat penting di luar hal tersebut di atas, tetapi sering dilupakan, adalah distribusi kekuasaan yang tidak merata di masyarakat. Hal itu tidak hanya menyebabkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu dapat menentukan mana yang legal dan ilegal, tetapi mereka juga dapat mengembangkan persepsi tertentu mengenai kriminal. Mereka lebih mampu memobilisasi sumber materi dan sosial (terutama akses ke media massa) yang dibutuhkan untuk meyakinkan orang bahwa mereka bukan kriminal dan yang lain kriminal, ketimbang orang-orang kecil.

Kita akan maklum jika polisi berbicara bahwa "sekarang kriminalitas menurun" atau "kami berhasil menertibkan para kriminal di kota ini", maka yang dimaksudkan hanyalah kriminalitas dan kriminal yang tertentu, yaitu kriminal dan kriminalitas jalanan. Tidak mengherankan pula jika ada pejabat tinggi yang hobi berkoar bahwa kemelaratan adalah biang kriminal, sebab itu perluasan lapangan kerja begitu penting. Padahal, sang pejabat tinggi itu sendiri adalah ujung teratas dari mata rantai para pemeras perusahaan atau pengusaha yang hendak membuka lapangan kerja, yang tandatangannya harus dibayar milyaran rupiah.

Sekali suatu pihak gagal menampik stereotip yang dilekatkan pada mereka, maka bekerjalah stereotip itu. Kemudian, selain dapat melekat sangat lama dan sulit dihapus, stereotip tersebut bisa berdampak sangat buruk bagi mereka. Polisi dan jaksa terkadang, jika bukan sering, bekerja melalui stereotip-stereotip kriminal—seringnya terjadi insiden salah tangkap dan salah menghukum membuktikan hal ini. Masyarakat waspada, memandang curiga, bahkan mudah menuduh orang-orang yang tampak sesuai dengan stereotip kriminal. Kesempatan kerja menyempit atau malah tertutup. Singkatnya, masyarakat bereaksi sedemikian terhadap yang terstigma, sehingga membuat aktivitas "normal" di masa depan menjadi sangat sulit. Jika demikian, tidak ada kesempatan bagi mereka selain menjadi atau terus menjadi penjahat.

***

Bukti lain yang menunjukkan bahwa hukum cenderung berpihak kepada kelas atas/penguasa tampak pada perbedaan perlakuan terhadap kriminal jalanan dan kriminal elit. Seperti yang sering tampak dalam televisi, pencuri telepon genggam (senilai ratusan ribu) yang miskin dipermalukan dan sering diperlakukan dengan kasar seperti di suruh membuka baju, rambutnya dicukur acak-acakan, dibentak, bahkan dipukul. Sedang bos perusahaan pencuri kayu (bernilai milyaran) diistimewakan dan diperlakukan dengan baik, dikawal dan dijaga agar tidak ada orang yang menyentuh apalagi memukulnya, menaiki mobil polisi yang bagus bukan mobil bak terbuka, mengenakan jas di kantor polisi. Pejabat yang korupsi ratusan miliar rupiah diperlakukan dengan sopan dan hormat dan ditempatkan di penjara yang jauh lebih bagus dari pencuri jemuran. Koruptor dianggap lebih berhak mendapat pengampunan yang memotong masa tahanan dibanding pengutil. Yang tak tampak pada layar kaca lebih mengerikan lagi: pedagang kecil narkoba disuruh lari untuk ditembak kakinya, tetapi pemilik pabrik narkoba tidak. Kalau mau disebutkan, ada begitu banyak perlakuan-perlakuan lain serupa itu.
Selain menunjukkan keberpihakan hukum dan penegaknya kepada sejumlah kriminalitas dan kriminal tertentu, hal tersebut juga menunjukkan tidak seriusnya upaya penguasa untuk memerangi tipe-tipe kejahatan tertentu yang umumnya dilakukan para elit dan birokrat, yang umumnya adalah kejahatan besar yang merugikan negara dan/atau banyak orang. Di samping itu, perlakuan yang tidak adil itu juga bisa dikatakan sebagai proses penstereotipan kriminal dan kriminalitas tertentu dan penghilangan kesan kriminal dan kriminalitas yang lain.

Kenyataan bahwa aturan-aturan hukum adalah tindakan politik, seharusnya mendorong masyarakat untuk sering kali menuntut penjelasan mengapa suatu aturan mengilegalkan suatu tindakan dan melegalkan yang lain. Lebih lanjut, mengapa suatu kejahatan diganjar begini dan yang lain begitu. Sayangnya, sedikit saja diantara kita yang mengetahui atau diberitahu mengapa orang yang mencuri satu biji buah yang berharga ratusan rupiah dianggap kriminal, sedang perusahaan yang menempati hutan yang sebelumnya menjadi penghidupan suatu komunitas tanpa memberi mereka sesuatu kecuali limbah bukanlah kriminal. Mengapa pencuri asem dan koruptor mendapat ganjaran yang hampir sama, atau malah yang disebut terakhir bisa lebih ringan. Mengapa masalah pejabat DPR yang membolos rapat hanya menjadi permasalahan etika, bukan kriminal. Padahal, hanya dengan memahami alasan-alasan yang melatarbelakangi suatu aturanlah kita bisa menilai apakah aturan tersebut adil atau tidak.

Kenyataan bahwa hukum adalah soal kekuasaan dan seringkali bekerja melalui stigma itu semestinya juga mendorong masyarakat untuk terus mengawasi hukum dan penegaknya dan mencurigai setiap upaya penstereotipan. Kita tidak bisa menganggap selesai persoalan ketika sudah sampai di tangan penegak hukum. Tidak seharusnya pula kita membenarkan begitu saja aturan-aturan hukum, hanya karena ia telah disahkan, tanpa berusaha menempatkannya dalam konteks terjadinya suatu perkara. Mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum bukan berarti hukum dalam negara kita sudah pasti tanpa persoalan, bukan pula berarti pekerjaan penegak hukum adalah pekerjaan Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun