Mohon tunggu...
kajitow elkayeni
kajitow elkayeni Mohon Tunggu... penulis -

https://www.facebook.com/kajitow

Selanjutnya

Tutup

Money

Kereta Cepat dan Pengidap Paranoia Tingkat Dewa

25 April 2016   07:30 Diperbarui: 25 April 2016   07:50 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Ada beberapa sesat pikir yang membingungkan di tengah masyarakat. Katanya, kebodohan tak memiliki batas. Tapi sengaja menjadi bodoh hanya butuh sebiji zarah kebencian, sejauh garis tipis seberang keyakinan saja. Banyak hal yang kemudian dikritisi habis, dengan mengabaikan logika. Sekadar kira-kira, barangkali, mungkin saja. Toh, barang syubhat bernama asumsi bodong itu begitu laris. Iya kalau jatuh ke halal, kalau masuk barisan haram? Apa MUI sanggup menghalalkannya?

Sesat pikir itu, usai Pilpres kemarin, makin menjadi-jadi. Satu kabar hoax dihembuskan, cacing-cacing kelaparan berpesta-pora. Giliran ada klarifikasi, kaum bersumbu pendek dengan stok kebencian yang over, mendadak amnesia. Boro-boro ingat soal dosa, sedikit malu saja tak ada. Amazing. Lalu hoax varian baru bermunculan, sambil berharap mukjizat, semoga hoax itu menjadi nyata. Mereka pikir Tuhan itu pikun. Suara rakyat suara Tuhan. Jika satu juta rakyat berdoa, maka Tuhan tak punya pilihan kecuali mengabulkannya. Tak perduli itu menyalahi kodrat dan iradat. Tuhan saja disandera kepentingan. Amazing.

Soal terbaru adalah mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Lalu sang profesor kita yang dibesarkan oleh Soeharto itu, tiba-tiba punya opsi yang mencengangkan. Kereta cepat dipandang tak perlu, masih ada pesawat dan kendaraan pribadi. Maaf Pak Prof. Sudah pernah ke Bandung? Kalau belum, saya ajak ke sana. Jalan tol kita itu nauzubillah lega, apalagi kalau lewat Cibubur. Tapi Bapak mesti naik ambulans. Lega Pak, saya jamin.

Kemudian muncul pula fenomena kaum pengidap paranoia tingkat dewa. Pertama, yang mereka soroti soal ekonomi. Ada ketakutan proyek itu gagal, BUMN kita nanti dicaplok Cina. Hello? Sudah ngopi saudara-saudara. Negara kita ini tak miskin-miskin amat kok. Proyek itu memang uang besar, tapi jikapun gagal tak segawat yang dikhawatirkan. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh tanpa harus menjual BUMN. Mungkin ada pertanyaan lanjutan, tapi kenapa tak pakai APBN saja, toh jika gagal bebannya ke APBN juga? Begini, untuk bikin APBN-P saja, Jusuf Kalla harus turun gunung untuk melobi anggota dewan. Itu jelas-jelas persoalan mendesak, tapi anggota dewan kita itu ruwetnya minta ampun. Soal tidur dan tidak hadir saat sidang sih paling jago. Apalagi jika harus memasukkannya ke APBN? Mau perang Baratayuda?

Barangkali masih ada pertanyaan lagi, kalau tidak ada angarannya kenapa dipaksakan? Kalian pikir negara maju itu membangun semata dengan anggaran dasar mereka saja? Sudah menghitung berapa hutang Amerika dan Jepang? Ayolah jangan pura-pura bodoh begitu, atau memang aseli demikian? Hutang negara, asal dialokasikan selain untuk konsumsi, akan menghasilkan pemasukan berlipat. Mungkin bukan dalam bentuk nominal secara langsung dan cepat. Tapi pembangunan infrastrultur misalnya, membuka dan mempercepat distribusi barang. Perekonomian berkembang, peluang bisnis baru muncul, dst. Untuk pendidikan misalnya, akan makin bagus kualitasnya. SDM memiliki daya saing tinggi. Kaum bersumbu pendek dengan prosesor lemot (maaf bukan menyindir) akan berkurang.

Ke dua, soal legalitas. Konon, proyek itu terkendala soal ijin. Betul. Tapi apakah presiden akan diam saja. Soal ijin? Memang para menteri itu anak buah siapa? Oke, ada kabar mengatakan proyek itu menabrak Kepres. Kepres itu apa? Siapa yang buat? Atas kepentingan apa? Kepres itu tak lebih hanya petunjuk pelaksanaan. Iya dia memiliki konsensus tersendiri, tapi bukan berarti hukum tertinggi yang tak bisa diubah. Tidak masalah jika kepres diperbaiki jika dinilai harus. Dia bukan kitab suci.

Kalau memang menabrak kepres, kenapa dipaksakan? Kenapa proyek ini terkesan buru-buru? Kalian barangkali belum bangun dari mimpi indah jaman SBY. Segalanya dikerjakan dengan slow motion dan prihatin. Kalau bisa cepat, kenapa diulur-ulur? Bukankah Ridwan Kamil justru mendukung proyek itu? Kenapa kalian berpaling dari pujaan hati kalian sendiri, wahai? Sudah bukan fans Ridwan Kamil lagi?

Ke tiga, soal politik kepentingan para elit politik. Nepotisme terang-terangan, tentu melanggar hukum dan prinsip berkeadilan. Tapi politik kepentingan adalah sesuatu yang niscaya. Selama tidak melanggar hukum, kaitan terjauh paling mungkin yang bisa disentuh adalah perkara moral. Banyak orang menyorot Rini bermain dalam proyek ini. Ia ada di belakang layar dan menggunakan wewenangnya melalui Presiden. Betulkah itu, ada bukti? Jika iya, memang di pemerintahan manusia mana yang bersih dari praktek demikian? SBY? Soeharto? Soekarno? Ayolah, selama itu tidak melanggar peraturan, kita bisa apa? Mau menggunjing sampai bibir kalian keriting?

Kita tak mungkin main tuduh begitu hanya berdasarkan asumsi. Jikapun Rini memang bermain dan terbukti, kita siagakan aparat penegak hukum, beres kan? Itu jika kalian masih menganggap ini negara hukum. Tuduhan sumir semacam itu hanya akan melahirkan asumsi tambahan tak berujung. Tanpa KB, mereka akan beranak-pinak menjadi banyak sekali. Balik ke barang syubhat bernama asumsi bodong tadi. Dan kita akan semakin tergantung pada fatwa MUI, ente mau bayar berapa untuk sertifikasi halalnya?

Indonesia mengalami persoalan besar terkait paranoia. Kritis harus, tapi tetap logis dan ada bukti. Barangkali tim sorak-sorai-goyang-kucek-jemur itu lupa, paranoia adalah gejala sakit jiwa. Bukankah hal itu mesti lekas diobati? Mungkin ada pertanyaan terakhir, kapan dan oleh siapa? Lho cepat sekali kalian lupa. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan Kita, siapa lagi? Padahal 'Kita' adalah Jokowi, hiks. Pedih ya Mblo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun