Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran dan Para “Wong”

13 September 2011   03:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:00 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang tertinggal untuk saya ceritakan kepada para pembaca. Anggap saja tulisan ini sebagai “turahan” lebaran. Bukan parsel, jajan atau uang THR, tetapi soal percakapan, pengamatan serta menyimak pernak-pernik seputar suasana lebaran.

Lebaran bagi saya memuat dan menyimpan multidimensi tujuan serta riuh rendah cerita bagi siapa saja. Lebaran bukan saja perayaan keagamaan yang dirayakan oleh salah satu umat beragama. Memang mula awalnya lebaran merupakan hari “pesta kemenangan” bagi umat Islam yang sebulan “muput” menjalankan puasa. Namun, seiring bergulirnya waktu lebaran bukan sekedar “unjuk kuasa dan rasa”nya umat Islam melainkan seluruh elemen masyarakat Indonesiayang biasanya hidup berbaur, menyatu serta beramah tamah dengan tetangga. Inilah yang menjadikan lebaran bagi masyarakat Indonesia menjadi unik dan berbeda dengan lebarannya “wong-wong Islam” di negara lain.

Lebaran, kunjung sanak keluarga dan sungkem merupakan kebiasaan yang sejak dulu dilakukan oleh masyarakat kita. Lebaran menjadi medium untuk saling menyapa, bertemu bagi siapa saja yang lama tidak bertemu sebab terpisah ruangkarena pekerjaan. Sehingga dalam even tahunan ini menjadi momentum penting untuk bersua, saling berjabat tangan,berbagi cerita pada orang tua, saudara, teman-teman dan tetangga. Seberapa jauh jarak terbentang memisahkan tetapi kalau dalam dirinya masih terbesit rasa “kangen” maka orang akan berduyun-duyun pulang, kunjung sanak kadang. Hingga akhirnya muncul istilah mudik, pulang kampung.

Saya yakin dalam momen sungkem atau kumpul dengan keluarga maupun tetangga ini bukan bertujuan sekedar silahturahmi saja. Melainkan ada “oleh-oleh” yang harus dibagikan, diceritakan kepada hadirin. Maka sudah selayaknya jika dalam berkunjung yang biasa menjadi “luar biasa”. Baik itu dalam penampilan atau gaya bicara. Semuanya tidak lain untuk mengenalkan atau menunjukkan kalau “aku” telah tercampur baur dengan daerah “paran”. Ini menjadi oleh-oleh, mungkin tanpa kita sadari, menjadi perihal yang penting. Ini merupakan bentuk perubahan atau adanya asimilasi budaya “ibu” dengan budaya “paran”. Contoh sederhananya, teman saya yang kini hidup di Jakarta terbiasa menggunakan kata “ngapain” ketika berbicara sesama teman di kampung ternyata kebiasaan itu tak bisa ditinggalkan. Sehingga teman-teman sering menjuluki orang-orang yang dari Jakarta dengan manusia “ngapain”. Begitu pula yang dari daerah Banjarmasin, akhir bicaranya sering ketambahan “kah”. Yang dari daerah Surabaya sering bilang “rek”, “tha”. Saya sendiri yang belum begitu lama tinggal di Yogyakarta sering menggunakan “po”, atau “je”.

Reuni keluarga, teman cangkrukan semasa kecil, bahkan juga masa sekolah berubah menjadi pengenalan budaya “paran”. Bukan saja logat bicara melainkan juga tata busana alias penampilan. Yang dulunya katrok berubah necis atau malah terbilang berani seperti busana dalam sinetron-sinetron di TV. Perubahan yang sangat menggelikan dan mengasyikkan untuk saya nikmati. Hitung-hitung menambah kesegeran dalam kegersangan musim kemarau di desa....

Sebetulnya yang lebih penting dari kumpul-kumpul atau sungkem adalah apakah para perantau ini sudah menjadi “wong”. Istilah yang sering digunakan dan mengacu pada kesuksesan hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari orang-orang di sekitar. Malah ada yang mengidentifikasi kesuksesan dari penampilan, kendaraan atau apalah yang sekiranya pada zaman ini menjadi bukti “ hidup itu sukses jika jika telah memilik bla..bla..bla.

Para orang tua begitu nafsunya menelisik kehidupan seseorang dengan serangkaian pertanyaan yang itu-itu saja: kerja di mana, sudah menikah, apa sudah beranak, dan masih berjibun pertanyaan yang kadang membuat “ngelu” bagi seseorang. Terkadang pertanyaan seperti itu memang terdengar hanya basa-basi pembicaraan atau hal yang lumrah untuk ditanyakan dari mereka yang jauh, tetapi apakah bagi yang ditanya siap untuk menjawab? Ya kalau sukses, jika tidak? Ah..hanya akan menambah beban psikologis dan tekanan batin. Belum lagi budaya rasan-rasan yang berserakan di desa, semakin menambah “para tamu” untuk menutup telinga dan “ngempet howo” saja.

“yang sukses jadi pujaan dan yang belum sukses jadi bahan pembicaraan”. Kebetulan teman saya bekerja, katakanlah, enak. Waktu pulang dan berkunjung membawa kendaraan yang cukup aduhai, spontan orang-orang mengatakan “sekarang hidupnya enak, mbok aku dibawa kerja di sana.” Beruntunglah teman saya yang tidak mendapat kartu apes dari tonggo teparo.

Lain lagi dengan tetangga dekatku, yang telah lama merantau namun belum juga menemukan titik yang enak, ditambah lagi dengan mendapat istri yang umurnya di atasnya dan sampai sekarang belum dikarunia anak. Pertanyaan yang meluncur dari ibu-ibu pasti seputar anak: “piye wis duwe anak durung (gimana dah punya anak belum)? Belum lagi ditambah selingan yang lucu dan menggemaskan tentah hubungan suami istri. Saya agak tergelitik untuk ikut mengomentari pertanyaan ibu-ibu, entah ini sebagai pembelaan atau memang kenyataan. inilah komentarku: “ah, wong kuwi ora ono sing biso ngetengi sing eneng isone mung ngeloni (orang itu tidak bisa menghamili yang ada hanya bisa meniduri)”. Mungkin pembaca punya jawaban yang jitu untuk pertanyaan: apakah benar kita dapat menghamili? Bukankah masalah hamil atau tidak, punya anak atau tidak itu karunia Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan kehidupan orang perantuan sudah menjadi hal yang lumrah, tetapi jika kenyataannya pertanyaan itu malah membuat para orang perantuan menjadi minder, pilih mengasingkan diri dan merasa gagal untuk menjadi “wong” ,bagaimana coba?. Selain itu, ada semacam keharusan bahwa yang merantau hidupnya harus sukses, lebih kaya daripada hidup di desanya asal. Tentu semangat ini menjadi mantra yang ampuh untuk menggerakkan, mencambuk semangat kesuksesan hidup para perantau. Namun, apabila kesuksesan hidup yang bergelimangan harta hanya dipandang secara linier: pokoknya sukses itu berarti kaya, menjadi “wong” itu harus naik derajat dan hartanya. Bukankah ini bentuk “mempersilahkan” seseorang untuk menggunakan segala cara, entah halal atau haram, demi sebuah istilah “wong” tadi. Maka tak ayal jika penipuan, perampokan, melacurkan diri atau pekerjaan “esek-esek” yang lain semakin merajalela. Pekerjaan-pekerjaan itu bukan semata-mata salah pekerjanya namun karena ada tuntutan bahwa hidup harus menjadi “wong”, miskin itu hina. Dan siapa pula manusia yang mau menjadi bahan pergunjingan, rasan-rasan saat petan hanya karena hidupnya miskin? Saya kira tak ada. Yang paling memprihatinkan adalah sikap “ngoyo woro” ini hanya melahirkan kebusukan dan kebohongan-kebohongan dari para perantau hanya sekedar untuk menciptakan image yang bagus dalam obrolan-obrolan tetangga.

Saat sekarang untuk kembali menelisik memaknai tentang “wong”, miskin, orang sudra. Apakah hidup miskin benar-benar hina adanya? Apakah menipu, korupsi itu lebih bagus dibandingkan jika menjalani hidup ini dengan jalan yang lurus namun terus didera kemiskinan? Apakah menciptakan kebohongan itu lebih mulia dibanding jika kita berkata apa adanya tentang “perjalanan” hidup ini? Beranikah kita untuk bahwa “air laut’ itu memang asin rasanya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun