Mohon tunggu...
Kafabihi Chamzawi
Kafabihi Chamzawi Mohon Tunggu... Freelancer - Adil Sejak dalam pikiran

seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” ― Pramoedya Ananta Toer, This Earth of Mankind

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

New Normal: Sebuah Harapan atau Kehancuran?

27 Mei 2020   12:08 Diperbarui: 27 Mei 2020   12:05 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Ditulis Oleh: Kafabih​

Kalian tau ? apa yang lebih menakutkan dari teroris itu sendiri ?. Yaitu ketika pemerintah menaruh posisi politik dan ekonomi diatas nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah kejahatan yang tidak akan pernah tau siapa pelakunya, semoga ini bukan romantika orde baru. 

Seperti yang terjadi saat ini Indonesia diantara harapan dan realita. Harapannya kita bisa beraktifitas seperti sedia kala/normal, tapi realitanya Mike Ryan pakar kedaruratan kesehatan WHO menyebutkan wabah pandemi ini tidak akan pernah hilang.  Dalam beberapa perkembangan terakhir kita melihat adanya potensi bahwa wabah ini bisa bermutasi, dan semoga tidak ada gelombang kedua.

Dalam Ilmu Kosmologi filsafat kita bisa melihat betapa ganasnya masa lalu. Antara konspirasi dengan kosmologi saling berkesinambungan. Pada dasarnya Kosmologi sejarah menekankan pada upaya untuk mengkaji hakikat dan prinsipprinsip gerak atau perubahan sejarah itu sendiri. Kita bisa melihat dan belajar dari pandemi Flu Spanyol. Dalam sejarahnya yang terjadi pada tahun 1918 ini telah menginfeksi 500 juta manusia, dan gelombang terbesar adalah gelombang KEDUA dari tiga gelombang yang terjadi. Pandemi pertama pun juga sama, tercatat dalam sejarah seperti black death yang terjadi di eropa pada abad ke 14 berlangsung selama empat tahun juga telah memakan korban sebanyak 75 juta jiwa.

Dalam prinsip Kosmologi sejarah ini menekankan pada upaya untuk mengkaji hakikat dan prinsip-prinsip gerak yang bersifat multidimensional. Semua berawal dari tujuan-tujuan tertentu. Pilihannya langsung antara keselamatan manusia atau ekonomi ?. tentunya negara lebih mementingkan ekonomi sebagai pondasi negara. Dengan kata lain, Herd Imunity menjadi strategi terakhir.

Seperti kita ketahui bahwa konsep ini memaksa menusia untuk beradaptasi tanpa vaksin. Mau atau tidak manusia jihadist pilihan, Mati !? atau Bertahan ?!. Faktanya adalah Herd Imunity bukanlah solusi, Tapi kalau disebut GENOSIDA ?, itu lebih masuk akal dengan pemerintah sebagai pelakunya. Segitu buruknya sektor kesehatan dibawa dengan mengedapankan politik. 

Akhir-akhir ini ada strategi baru yang akan diterapkan, yaitu dengan menerapkan new normal. Hal ini bertujuan untuk meringankan pembatasan sosial. Dari Direktur Regional WHO, Dr. Hans Henri P. Kluge menyebutkan beberapa negara bisa menerapkan new normal ketika transmisi yang terinfeksi dapat dikendalikan atau menurun, sistem kesehatan sudah terkualifikasi, mengurangi resiko terhadap orang yang memiliki resiko tinggi (seperti orang tua), dan physical distancing sebagai gaya hidup yang baru.

Kita beraharap dalam penerapan ini tidak terjadi gelombang kedua. Tapi, dalam rekam jejak kebijakan pemerintah itu sendiri masih belum begitu jelas kemana arahnya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Kemenkes melakukan perjudian yang menarik. Kebijakan ini tidak serta merta keluar pertama kalinya ketika Presiden membunyikan New Normal. Menariknya, negara sudah kehabisan amunisi untuk mengurusi rakyatnya.

Saya sangat menyayangkan ketika negara yang seharusnya hadir dalam setiap sendi kehidupan masyarakat berubah menjadi serigala. Bagaimana tidak ?, Surat Bebas COVID-19 digunakan sebagai senjata untuk menekan arus mudik lebaran tahun 2020. Begitu banyak proses yang dilewati, mulai dari Surat Izin RT, sampai bayar administasi untuk mendapatkan surat keterangan kesehatan. Seperti kita ketahui alat rapid test yang banyak beredar dan menjadi rekomendasi WHO dijual dengan harga kisaran 180 ribu.

Entah bagaimana negara bisa membangun bisnis dengan cara seperti ini. Mengambil kesempatan dengan menutupi dalam slogan dilarang mudik. Ironisnya, mereka mendapatkan peluang karena banyak yang butuh berpergian. Padahal dengan adanya surat itu, belum tentu bisa menjamin. Bisa saja reaktif saat dalam perjalanan jika tidak melakukan physical distancing. Pemerintah yang mengaku dirinya paling pancasilais tidak akan pernah ada. Selama bisnis diatas kemanusiaan, Indonesia tidak akan pernah utuh dalam negara itu sendiri. Tidak akan pernah, dan Indonesia hanya sebatas nama yang dalamnya hidup gaya neo-kolonialism dengan bumbu politik eksistensial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun