BPS baru saja mirilis perkiraan data produksi beras tahun 2018 yang didasarka pada metode baru. Surplus beras ternyata diperkirakan hanya 2,85 juta ton. Jauh lebih rendah dari perkiraan Kementan yang sekitar 13 juta ton.
Angka ini juga menunjukkan, hipotesis bahwa angka produksi padi ketinggian yang menyeruak sejak 1997 memang benar adanya. Hasil penelitian BPS dengan menggunakan data hasil Sensus Pertanian 2013 (ST13) sebetulnya menunjukkan potret yang kurang lebih sama.
Berdasarkan hasil ST13, luas panen padi diperkirakan sekitar 9 juta ha. Angka ini tidak jauh berbeda dengan perkiraan BPS pada tahun ini dengan metode KSA yang sekitar 10,9 juta ha.
Itu artinya, hasil ST13 cukup akurat meski menggunakan metode wawancara (recalling) yang cenderung underestimate. Orang lalu bertanya, surplus beras kok masih impor, mengapa? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Keputusan impor beras didasarkan pada dua parameter. Pertama, harga beras di tingkat konsumen 10 persen lebih tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Kedua, stok Bulog di bawah satu juta ton.
Jika kedua kondisi ini terpenuhi alarm impor beras berbunyi meski perkiraan produksi menunjukkan surplus. Pemerintah tidak mau ambil risiko. Beras adalah komoditas pangan paling strategis secara ekonomi, sosial dan politik.Â
Porsi terbesar pengeluaran masyarakat kelas bawah habis untuk beras. Kontribusi harga beras dalam perhitungan inflasi kelompok bahan makanan juga sangat tinggi. Kenaikan jumlah penduduk miskin dan inflasi yang tinggi adalah kombinasi yang buruk. Surplus beras 2,85 juta ton menunjukkan bahwa gejolak harga sangat rentan terjadi di awal tahun.
Ia juga tersebar secara geografis dan institusi. Sederhananya 2,85 juta ton itu tersebar di suluruh Indonesia dan ada di rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, petani, usaha makan-minum, hotel, pedagang, penggilingan padi, dan Bulog.
Pada saat yang sama, rata-rata konsumsi per bulan masyarakat sekira 2,5 juta ton. Pola selama ini menunjukkan bahwa neraca produksi beras selalu defisit di akhir tahun hingga memasuki awal tahun berikutnya (Februari) sebelum masuk panen raya. Pada bulan-bulan ini, produksi per bulan lebih rendah dari kebutuhan.
Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa stok Bulog bakal menipis di awal tahun dan pada saat yang sama harga beras tinggi.