Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sejumlah Isu Terkait Data Produksi Beras, Surplus Ideal dan Amnesti Data

30 Oktober 2018   08:36 Diperbarui: 30 Oktober 2018   20:03 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: DOK Humas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah

BPS baru saja mirilis perkiraan data produksi beras tahun 2018 yang didasarka pada metode baru. Surplus beras ternyata diperkirakan hanya 2,85 juta ton. Jauh lebih rendah dari perkiraan Kementan yang sekitar 13 juta ton.

Angka ini juga menunjukkan, hipotesis bahwa angka produksi padi ketinggian yang menyeruak sejak 1997 memang benar adanya. Hasil penelitian BPS dengan menggunakan data hasil Sensus Pertanian 2013 (ST13) sebetulnya menunjukkan potret yang kurang lebih sama.

Berdasarkan hasil ST13, luas panen padi diperkirakan sekitar 9 juta ha. Angka ini tidak jauh berbeda dengan perkiraan BPS pada tahun ini dengan metode KSA yang sekitar 10,9 juta ha.

Itu artinya, hasil ST13 cukup akurat meski menggunakan metode wawancara (recalling) yang cenderung underestimate. Orang lalu bertanya, surplus beras kok masih impor, mengapa? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Keputusan impor beras didasarkan pada dua parameter. Pertama, harga beras di tingkat konsumen 10 persen lebih tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Kedua, stok Bulog di bawah satu juta ton.

Jika kedua kondisi ini terpenuhi alarm impor beras berbunyi meski perkiraan produksi menunjukkan surplus. Pemerintah tidak mau ambil risiko. Beras adalah komoditas pangan paling strategis secara ekonomi, sosial dan politik. 

Porsi terbesar pengeluaran masyarakat kelas bawah habis untuk beras. Kontribusi harga beras dalam perhitungan inflasi kelompok bahan makanan juga sangat tinggi. Kenaikan jumlah penduduk miskin dan inflasi yang tinggi adalah kombinasi yang buruk. Surplus beras 2,85 juta ton menunjukkan bahwa gejolak harga sangat rentan terjadi di awal tahun.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Perlu dipahami bahwa surplus tersebut adalah kondisi pada 31 Desember 2018. Dengan kata lain, angka itu adalah besaran limpahan stok (carry over stock) untuk Januari 2019.

Ia juga tersebar secara geografis dan institusi. Sederhananya 2,85 juta ton itu tersebar di suluruh Indonesia dan ada di rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, petani, usaha makan-minum, hotel, pedagang, penggilingan padi, dan Bulog.

Pada saat yang sama, rata-rata konsumsi per bulan masyarakat sekira 2,5 juta ton. Pola selama ini menunjukkan bahwa neraca produksi beras selalu defisit di akhir tahun hingga memasuki awal tahun berikutnya (Februari) sebelum masuk panen raya. Pada bulan-bulan ini, produksi per bulan lebih rendah dari kebutuhan.

Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa stok Bulog bakal menipis di awal tahun dan pada saat yang sama harga beras tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun