Pada sebuah kesempatan di tahun 2004. Saya berbincang rilek dengan Kiai Abdul Madjid, guru ngaji saya. Tepatnya di Rumah Kiai Madjid yang berada di Kompleks Masjid PTBA Tanjung Enim. Kala itu saya dengan Kiai Madjid, ngobrol tentang berbagai hal, diantaranya tentang sedekahnya tukang bakso, tukang mie dan para pedagang warung lainnya. Awalnya saya dan Kiai Madjid makan di sebuah warung tenda di Tanjung Enim. Saat saya minta air putih pada pemilik warung, si pedagang menyodorkan air mineral kemasan. Kala itu saya tak banyak komentar. Dua air kemasan mienral saya terima. Satu gelas saya serahkan kepada Kiai Madjid.
BACA : SORGA UNTUK SEMUA AGAMA
“Pemilik warung sekarang sudah tidak mau sedekah lagi!” ujar Kiai Madjid tiba-tiba, usai kami sampai di rumah Kiai Madjid. Kiai Madjid duduk di depan saya.
“Saya belum nyambung,” saya masih bingung.
“Sekarang air putih saja sudah dijual!” katanya lagi.
Saya baru paham, ujaran Kiai Madjid terkait dengan air mineral di tempat kami makan beberapa menit lalu. Saya mencoba membuka memori saya di warung tenda tadi.
“Mungkin pendapatan mereka pas-pasan. Jadi mereka jangan dipaksa sedekah?” kata saya.
“Itu menurutmu. Kalau tidak untung, mana mau mereka bertahun-tahun berdagang sampai sekarang?” kilah Kiai Madjid membuka diskusi malam itu.
“Jadi dari keuntungan itu mereka harus sedekah?” tanya saya lagi.
“Ndka usah nunggu untng. Bisa setiap menit mereka sedekah, kalau mau!?” tambah Kiai Madjid. Matanya masih menatap saya. Dia seakan memancing arugemntasi saya. Tapi saya bengong kali itu. Gumpalan asap rokok mengepul dari mulutnya.
“Caranya?” saya ingin tahu.