Mohon tunggu...
KA Widiantara
KA Widiantara Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi dan Akademisi Komunikasi-Media

Praktisi dan Akademisi Komunikasi-Media

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Menyoal Disinformasi di Tengah Isu Populisme

6 April 2021   12:32 Diperbarui: 6 April 2021   12:45 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Revolusi digital telah mendorong demokratisasi dan perubahan sosial di banyak negara. Di Indonesia, Internet membantu jejaring aktivis untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi terkait upaya penggulingan Soeharto di akhir 1990-an. 

Penggunaan media sosial secara strategis untuk protes-protes kolektif, dibarengi dengan aksi-aksi riil lainnya telah menggerakkan protes global konektif dan menimbulkan gelombang perubahan, seperti Musim Semi Arab, Occupy Wall Street, Los Indignados, Movement for Black Lives, Zapatista dan Gerakan 19 April di Nikaragua. Internet, terutama melalui Google, Facebook, Instagram, dan Twitter juga dituding menggelar karpet merah bagi Donald Trump melenggang ke Gedung Putih, dan menjerumuskan warga Inggris dalam referendum untuk memilih keluar dari Uni Eropa (Brexit). Disinformasi politik di ranah digital, terutama melalui media sosial, dijadikan alat oleh sebagian kelompok untuk meraih suara populis di tengah lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap kelompok elit.

Bagaimana disinformasi politik (juga misinformasi) pada era digital dikaitkan dengan politik populis? Apa tawaran solusi dari ranah jurnalisme?

Persoalan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini dan kaitannya dengan demokrasi tidaklah lagi tentang kebebasan pers dan berekspresi, melainkan adanya forum ide-ide publik terkonsentrasi di tangan sebagian kecil pemilik privat. 

Di sisi lain, diseminasi informasi terfasilitasi Internet tidak serta-merta mendorong tumbuhnya heterogenitas maupun membantu redistribusi kuasa. Kesenjangan akses warga terhadap teknologi, konten, dan representasi masih menjadi persoalan di banyak negara sehingga informasi terdiseminasi di dunia online justru mereproduksi prasangka dan kesetiaan faksional klasik. 

Persoalan lainnya adalah erosi legitimasi terhadap partai-partai politik maupun elit-elit di kekuasaan, bersamaan dengan eskalasi kesenjangan ekonomi. Akibatnya, aktor-aktor politik kharismatik muncul dengan jargon-jargon melawan elit, dan membela rakyat kecil. Kita tak lagi dikonfrontasi dengan pertanyaan mendasar seperti bagaimana melindungi kebebasan pers dari cengkeraman kuasa negara, melainkan siapa yang memiliki "suara populis" dan pengaruh pada politik massa di era demokrasi. Melalui fake news, juga konten-konten lain yang mengandung kebencian dan hasutan, sejumlah aktor politik mengeksploitasi prasangka dan kesetiaan kuno itu didukung dengan penggunaan TIK.

Mudahnya fake news beredar di berbagai media dapat diterangkan oleh studi-studi di bidang kognisi manusia. Sejumlah riset di bidang tersebut telah memperingatkan bahwa orang cenderung mencari, menginterpretasi, menyukai, dan mengingat informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Informasi yang berbeda dari preexisting beliefs tersebut membuat orang tidak nyaman, sehingga ia cenderung menghindari atau menganggap sumber informasi itu bias apabila informasi itu inkonsisten dengan sikapnya. Terlebih lagi, saat ini proliferasi konten mengalir tiada henti, sementara media-media legacy semakin bias dan terkonsentrasi. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun