Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manila Connection : Antara Kongres SEATO, Proklamasi PRRI (Permesta), Manuver Des Alwi dan Benigno Aquino Februari- Mei 1958

30 Mei 2015   08:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:27 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432950186572798357

[caption id="attachment_421355" align="aligncenter" width="300" caption="Manila 1950-an (kredit fto www.lakbayphillipines.com)"][/caption]

Gedung  Manila Press Club  Jum’at 14 Februari 1958 penuh dengan wartawan mancanegara. Mereka bukan mendengar keterangan pers dari seorang politisi Filipina, tetapi mendengarkan keterangan pers dari Letnan Kolonal Ventje Sumual, salah seorang tokoh yang sudah dianggap pemberontak Pemerintah Indonesia.    Desas desus yang beredar di kalangan wartawan ialah bahwa esok harinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia akan diprokalamirkan di Padang. Sumual adalah perwira menengah  militer  dari Sulawesi  Utara  yang sudah dianggap sebagai pemberontak.

Bukan saja kehadiran  Sumual yang membuat konferensi pers itu menjadi penting,  tetapi ada seorang  Des Alwi Abubakar menjabat  atase pers Kedutaan Republik Indonesia di Manila bertindak sebagai penterjemah Sumual.  Des Alwi adalah sosok yang dekat dengan mantan Wakil Presiden RI waktu itu Mohammad Hatta.   Benar juga, Sumual dalam konferensi pers itu mengungkapkan bahwa esok harinya sebuah pemerintahan revolusioner akan diproklamirkan di Padang.

Ketika Des Alwi sedang   menetrjemahkan keterangan Sumual, dua orang mahasiswa Indonesia di Manila bernama Ade Harul dan Bakri Iljas melesak maju dan beteriak: “Des Apa maksud semua ini?” Des Alwi terkejut: “ Ini salah seorang inflitran komunis di Filipina”   Dua mahasiswa indoensia itu pun menuding Sumual sebagai pengkihanat. Tetapi  Sumual ganti menyebut keduanya sebagai komunis.  Akhirnya keduanya diusir oleh Domingo Abadilla,  Ketua National Press Club Manila  ke luar ruangan karena bermaksud mengacau konferensi pers.

Kejadian ini yang dilaporkan Kantor Berita Antara pada 14 Februari 1958  menurut saya menunjukan bahwa Peristiwa PRRI/Permesta mempunyai banyak sisi untuk ditulis.  Saya mengumpulkan sejumlah berita dan artikel yang menunjukkan  Manila adalah salah satu tempat penting  di luar negeri  bagi peristiwa yang disebut sebagai perang saudara di Indonesia itu.   Filipina adalah salah satu Negara yang berbatasan dengan Sulawesi salah satu kawasan  yang bergolak.  Filipina adalah tempat pangkalan Amerika serikat  yang penting, yaitu Clarck Field.

Lolosnya Sumual ke luar negeri membuat berapa spekulasi di surat kabar Indonesia. Mulanya Sumual disangka menggunakan kapal-kapal barter yang mengangkut kopra di Bitung. Namun kemudain diketahui bahwa Sumual menggunakan pesawat terbang air yang diparkir di luar wilayah indonesia.  Kontak dilakukan secara rapi dan rahasia (Pikiran Rakjat, 13 Februari 1958)

Menurut sejarawan tentang Indonesia dari Amerika Serikat Barbara Sillars Harvey Filipina sebetulnya terlibat  memberi dukungan pada pemberontak.  Namun tanpa pengakuan resmi dari AS kepada PRRI Manila mengambil sikap sangat berhati-hati.  Letak strategis Filipina menjadikan negeri ini  dapat dimanfaatkan sebagai markas para pemberontak di luar negeri. Terdapat 115 mahasiswa Indonesia di Filipina dan tak seorang pun yang mengikuti gerakan separatis. Kedutaan Besar Indonesia melalui De Villenevue di Manila pada Februari 1958  membantah desas-desus bahwa pihak pemberontak mendirikan markas di kota itu.  Dia juga menyebutkan Des Alwi bohong besar dan membuat tuduhan palsu ( Antara, 10 Februari 1958, Pikiran Rakjat 22 Februari 1958). .

Beberapa hari kemudian Des Alwi  mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya bersedia memperbaharui sokongan pada Soekarno asalkan bersedia membubarkan dewannya yang tidak sah (yang dimaksud dewan nasional), serta melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia. Majalah Time edisi 10 Maret 1958  juga mengungkapkan kekhawatiran  pihak Barat bahwa ketika Soekarno mengangkat tangan 45 anggotanya, Dewan Nasional ternyata terdapat empat Komunis dan dua belas atau 14 sayap kiri lainnya. Ini adalah posisi Sukarno bahwa karena kaum merah memenangkan suara, mereka harus tempat proporsional dalam mengatur pemerintah. Keberadaan Soekarno di Uni Soviet juga menimbulkan dugaan bahwa presiden sedang dekat blok komunis. Penunjukkan Djuanda sebagai Perdana Menteri juga tanpa persetujuan parlemen juga dipermasalahkan.

"Saya tidak ingin naik kuda berkaki tiga (maksudnya hanya Masyumi, NU dan PNI, karena Pki masuk empat besar Pemilu 1955). Kita tidak bisa mengabaikan suara-suara dari 6.000.000 orang! "Serunya. Mohammed Hatta menjawab: "Kemudian menjaga mereka di oposisi. Minyak dan air tidak bercampur. "Adapun utama dan kabinet, Sukarno mendapat sekitar gangguan dari berunding dengan partai politik dengan menunjuk seorang insinyur sungguh-sungguh bernama Djuanda sebagai Premier tanpa konsultasi DPR.

Ventje Sumual berada di Manila dengan mengaku sebagai pedagang dengan nama Nicholas Sumual dengan passport Inggris (Antara, 13 Februari 1958). Tokoh Permesta lainnya Pantouw dan Walandow  meninggalkan Manila menuju  Singapura pada pertengahan Februari 1958. Walandow mengatakan bahwa ini persoalan hidup dan mati dan kami tidak akan mundur lagi (Antara 15 Feburari 1958).

Des Alwi diberitakan hilir mudik sepanjang Februari-Maret 1958.Pada akhir Februari 1958 Desi dikabarkan mencari pesawat terbang guna melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pusat Menurut Kantor Berita Reurters paling tidak anak angkat Hatta ini sudah tiga minggu berada di Filipina (Pikiran Rakjat 22 Februari 1958).

Pikiran Rakjatedisi 7 Maret 1958 menyebutkan bahwa Des Alwi meninggalkan Singapura menuju Manila. Kemudian dari Manila pergi menuju Hongkong. DesAlwi menyatakan bahwa ia skeptis atas hasil pembicaraan antara Presiden Soekarno dengan bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dia bersama Zulkifli lubis,  Ventje Sumual dan Jan Pantauw bertolak dari Singapura ke Manila menggunakan PAN American Airways, Namun maskapai penerbangan Amerika ini menampik menyebutkan ada penumpang dengan nama –nama itu .

Des  Alwi ini pernah membawa beberapa wartawan Filipina mengunjungi Sulawesi Utara di antaranya Ninoy Aquino ( Benino Aquino) dari Manila Times untuk mewawancarai tokoh pemberontak Ventje Sumual. Des Alwi  kemudian disebut-sebut menjadi juru bicara pemberontak di seberang lautan (overseas).

Pria kelahiran Banda ini memang bersahabat dengan Ninoy Aquino. Keduanya sebetul punya kesamaan. Bila Des Alwi adalah wartawan, diplomat, juga pelobi ulung dari Indonesia masa 1950-an, maka Filipina punya Benigno Aquino.  Pria kelahiran Tarlac 27 November 1932 ini (masih berusia 26 tahun waktu itu) hanya berbeda lima tahun dengan Des Alwi Bakar kelahiran 17 November 1927. Ninoy pada usia muda direkrut Presiden Filipina Ramon Del Fierro Magsaysay (1953-1957) untuk melobi tokoh komunis Hukbalahap bernama Luis Taruc  agar menyerah kepada pemerintah Filipina pada 10 Februari 1954. Hasilnya Taruc menyerah  17 Mei 1954 dan mengakhiri pemberontakan Hukbalahap  yang sudah berlangsung sejak 1946.

Ninoy menikah dengan Corazon Cojuang pada 11 Oktober 1954 yang memberikannya dukungan finansial sekaligus juga politik. Kelak Corazon ini dikenal dengan nama Cory Aquino.  Ayah Cory adalah pemilik hacienda dan perkebunan gula di Tarlac seluas 15 ribu acre. Hacienda Luisita di Tarlac inilah yang menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh Permesta.   Darah politik Ninoy mengalir dari Sang Kakek Servilla Aquino yang berjuang  melawan penjajahan Spanyol.

Benigno Aquino, salah seorang dari tiga wartawan Filipina yang menyelundup ke Minahasa kemudian menulis pada Manila Times 9 Maret 1958  setelah delapan hari di daerah pemberontak Indonesia bahwa kemampuan tempur para pemberontak tidak memadai dilihat dari persenjataannya.  Untuk itu dukungan dari luar negeri diperlukan untuk memperkuat pemberontak ( Antara, 11 Maret 1958).

Bukan karena ikut membantu Sumual untuk berbicara di depan pers di luar negeri, tetapi DesAlwi, diplomat senior Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, juga  berperan besar membantu keluarga Sumitro Djojohadikusumo ketika harus lari ke luar negeri, pada akhir 1950-an. ”Saya bertemu Ibu Dora Sigar dan anak-anaknya di Palembang,” katanya awal Juni lalu. Dora Sigar adalah istri Sumitro. Pada Mei 1957, Sumitro duluan menghilang di pedalaman Sumatera, mempersiapkan deklarasi PRRI/Permesta.

Des Alwi kemudian membantu keluarga Sumitro menyeberang ke Singapura. Selain karena sama-sama aktivis Partai Sosialis Indonesia, dia senasib karena juga dicari-cari aparat keamanan ( “ Sepotong Mimpi Anak Pelarian”, Tempo 29 Juni 2009 https://soedoetpandang.wordpress.com/2013/10/03/sepotong-mimpi-anak-pelarian/). Des Alwi memang karib dengan Benigno “Ninoy” Aquino, dan istrinya  Cory Aquino, Sebetulnya juga kemudian dengan  Gregorio Honasan dan Fidel Ramos. Ketika hidup dalam pengasingan akibat dituding terlibat PRRI/Permesta, Ninoy dan Cory menawarkan Des Alwi agar tinggal di Maniala, 1958 (http://www.intelijen.co.id/des-alwi-sutradara-dan-aktor-perjuangan-ri/)

Carlos Garcia, Felixberto  Serrano, Jesus Vargas

Pada Maret 1958 Presiden Filipina waktu Carlos Polistico Garcia (memerintah sejak 17 Maret 1957 hingga 30 Desember 1961)  melukiskan pemberontakan sebagai masalah dalam negeri Indonesia.  Hal yang sama juga diungkapkan Menteri Luar Negeri Felixberto Serrano , namun dia juga menyebutkan bahwa Indonesia bebas mengubah bentuk pemerintahannya. Secara bersayap itu berarti bahwa jalan yang dilakukan PRRI bisa dibenarkan.  Konsul Filipina di Manado diberitakan bersimpati kepada gerakan Permesta diperintahkan tetap di posnya dan memberikan laporan secara obyektif ke Manila.  Bahkan Presiden Garcia pada Mei 1958 membenarkan bahwa beberapa petualang Filipina yang tinggal di Kalimantan bertempur bersama kaum pemberontak. Anehnya pernyataan ini kemudian seperti dibantah oleh Serrano. Carlos Garcis juga mengeluarkan pernyataan pada Februari 1958 bahwa wakil-wakil kaum pemberontak termasuk Sumual dan Des Alwi datang ke Filipina dengan maksud damai (Pikiran Rakjat, 22 Februari 1958).

Garcia  seorang anti komunis tulen. Pada masa pemerintahannya Filipina mengeluarkan peraturan yang menyebutkan komunis dilarang di negeri itu.  Setelah banyak diskusi, baik resmi maupun umum, Kongres Filipina, akhirnya, menyetujui RUU melarang Partai Komunis Filipina.   Presiden Carlos P. Garcia menandatangani RUU menjadi undang-undang mengatakan sebagai Undang-Undang Republik Nomor 1700  pada  19 Juni 1957.

Dalam buku Cold Wars : South East Asia yang ditulis oleh Malcom H. Murfett,  Garcia ini tidak mau mengakui Uni Soviet, mau pun RRC padahal kedua negara ini dulunya mengakui Filipina.  Uni Soviet mau pun RRC kemudian menuding Filipina sebagai bonekanya AS.  Sejarawan lainnya Drooglever menyebutkan bahwa Garcia dan Presiden Taiwan Tsiang Kai  Sek melihat bahwa keberhasilan paar pemberontak  adalah obat satu-satunya melawan komunisme.

Garcia sebelum menjabat menjadi Presiden adalah wakil Presiden dari Ramon Del Fierro Magsaysay.  Keduanya memang satu kubu, kelompok nasionalis.  Namun gaya kepemimpinan mereka berebda. Magsaysay orangnya spontan, sementara Garcia lebih sabar, kalem.  Magsaysay adalah tokoh muda yang melejit bagaikan meteor, sementara Garcia meniti karir politik selangkah demi selangkah, mulai dari anggota Kongres, Gubernur, Wakil Presiden hingga akhirnya Presiden.

Sejarawan Indonesianis lainnya dari Amerika Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin  dalam bukunya  Subversion as Foreign Policy : The secret Eisenhower and  Dulles Debacle in Indonesia, 1997 (hal 188) juga mengungkapkan bahwa Benigno (Ninoy) Aquino ini membuka  Hacienda Luisita milik keluarganya di Tralac, sebagai kamp pelatihan bagi para pemberontak. Ninoy mengeluarkan pernyataan bahwa dia juga menyiapkan jaringan radio untuk kontak pemberontak dengan pengikutnya di Sulawesi Utara.  Achmad Husein sendiri mengakui peranan penting  Ninoy  membawa senjata dari Taiwan. Awal Februari 1958 Garcia memerintahkan Ninoy dan dua tehnisi dari radio dari Filipina ke Manado untuk mendirikan transmitter radio.

Menteri Luar Negeri Filipina Felixberto Serrano pada Rabu 5 Maret 1958 menyatakan bahwa pihaknya tidak mengizinkan bahwa wakil pemberontak Indonesia duduk sebagai peninjau dalam sidang dewan menteri SEATO di Manila. Namun sebaliknya Filipina tidak akan mengizinkan pemerintah Indonesia hadir. Serrano menolak kemungkinan memberikan perlindungan politik kepada pemberontak Indonesia. Hanya saja Serrano menolak mengusir pemberontak selama mereka tidak melanggar hukum di Fillipina (Pikiran Rakjat,6 Maret 1958)

Pernyataan ini kemudian ditegaskan lagi beberapa hari kemudian bahwa Filipina akan mengeraskan  sekrup  pintu masuk bagi pemberontak ke negeri itu.  Tindakan agar Filipina tidak terseret ke dalam krisis politik Indonesia.  Pernyataan ini dikeluarkan setelah Kedutaan Indonesia melakukan permintaan (Pikiran Rakjat, 8 Maret 1958). Bahkan kemudian Serrano menyatakan Kemenlu Filipina sudah memerintahkan visa untuk masuk Filipina untuk orang Indonesia, baik pemberontak atau bukan harus dipertimbangkan dulu Kemenlu sebelum diberikan.

Kenyataanya Pantauw, salah seorang tokoh Permesta berada di Filipina  pada Maret 1958. Pantauw bahkan sempat menerangkan kepada pers bahwa kaum pemberontak mempunyai cukup kekuatan untuk menurunkan Presiden Soekarno dari keududukannya dan untuk mencapai kemenangan terakhir.  Serrano pun berjani menyelidiki bagaimana ceritanya Pantauw bisa masuk ke Filipina dan tidak mendapatkan clearing.   Serrano membantah kedatangan Pantauw berhubungan dengan diselenggarakannya SEATO (Antara, 12 Maret 1958).

Pada pertengahan Mei 1958 giliran Menteri Pertahanan Filipina (menurut Filipina Sekretaris Pertahanan Nasional Jesus Vargas) mengeluarkan pernyataan yang mebuat panas Jakarta.  Vargas menuduh Pemerintah Indonesia mendapat bantuan senjata dari Uni Soviet dan digunakan untuk menindas pemberontakan. Bahkan Sejumlah pensehat Rusia juga terlibat dalam strategi melawan PRRI/Permesta.  Menurut Vargas apabila suatu waktu Indoensia jatuh ke tangan komunisme internasional, maka akan ada bahaya bagi Filipina.

Pernyataan Vargas dibantah oleh Letkol Pirngadie, juru bicara Angkatan Darat.  Menurut Pirngadie, Vargas memperoleh informasi yang salah. Keberhasilan operasi APRI di Sumatera –kenyataannya Padang, Buktinggi dan sjeumlah kota di Sumatera jatuh begitu cepat- membuat panik di Filipina. Pirngadie balik menuding bahwa Dinas Rahasia Filipina tidak terliti bekerja (Pikiran Rakjat, 12 Mei 1958).

Pertemuan SEATO 11-13 Maret 1958

HarianCanbera Times, 5 Maret 1958 menulis bahwa pemerintah pusat Indonesia yang merasa terganggu oleh pemberontakan yang terjadi di Sumatera Tengah dan Sulawesi memberikan peringatan pada Amerika Serikat terhadap menerima utusan pemberontak pada pertemuan SEATO pada 11-13 Maret 1958 . Pimpinan utama pemberontak Syarifudin Prawiranegara, 47 tahun dalam konferensi pers di Bukti Tinggi menyatakan kemarin bahwa jika Presiden Soekarno import senjata dari Uni Soviet, maka pihaknya mencari bantuan dari Amerika Serikat dan kekuatan SEATO yang mengadakan pertemuan menlu di Manila bulan ini (lihat juga Pikiran Rakjat 5 Maret 1958).

Dr Sjaffruddin (demikian Canbera Times menyebut Syafrudin Prawiranegara) tak akan membiarkan Sumatera berubah menjadi "Hongaria yang lain” oleh tangan Soviet. Syarifuddin menyamakan Soekarno dengan pimpinan Hongaria Janos Kadar yang mengambil alih kekuasaan dengan dukungan Rusia selama Revolusi Hungaria. UP menyebutkan pasukan Sumatera bekerja keras untuk mempersiapkan perthanan melawan serangan amfibi yang mungkin dilakukan oleh Presiden Soekarno. Para pemuda juga dipersiapkan untuk belajar pelatihan geriliya.

Berita itu juga menyebutkan bahwa Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles akan menghadiri pertemuan SEATO. Pejabat Kementerian Menetri Luar Negeri Indonesia Suwito Kusmawidago mencela laporan yang menyebutkan Duless memperingatkan bahwa AS akan menggunakan kekuatan senjata untuk mencegah komunis.

Kenyataannya memang pada pertemuan 11 Maret 1958 di Manila para wakil dari anggota-anggota SEATO (South East Asian Treaty Organization), termasuk John Foster Dulles (US Secretary of State) dan Casey (Menlu Australia) membicarakan tindakan apa yang dapat dilakukan bagi pemberontakan PRRI/Permesta.Sejarah kemudian mencatat bahwa memang menjelang akhir Februari 1958 operasi yang dilakukan pemerintah  pusat Jakarta terhadap para pemberontak dimulai. Jakarta, mulai membom pusat-pusat kegiatan pemberontakan di Sumatera Tengah, dan kemudian pada Maret 1958 pemerintah Jakarta mulai mendaratkan pasukannya di bumi Sumatera.

Pada 10 Maret 1958 Menteri Luar Negeri Inggris  Selwyn  Lloyd kepada pers berharap pembicaraan pribadi dengan Menlu AS, John Foster Dulles dan Menetri Luar Negeri Prancis, Christian Pireau untuk membicarakan beberapa persoalan internasional, termasuk juga Indonesia.  Tetapi pernyataan itu ditampik kantor berita Amerika UP bahwa tidak ada pembicaraan tentang Indonesia. Sementara Menlu Filipina Serrano mengungkapkan bahwa pembicaraan tentang Indonesia dilakukan secara tertutup (Pikiran Rakjat, 11 Maret 1958)

Uni Soviet kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa SEATO akan melakukan campur tangan di Indonesia. Hal ini kemudian dibantah  Sekretaris Jenderal SEATO Pote Sarasin bahwa pernyataan itu fantastis. SEATO hanya ingin melihat Indonesia dalam keadaan  damai  dan makmur (Pikiran Rakjat, 12 Maret 1958).  Wartawan UP Arnold Dible kemudian menulis bahwa terdengar bisikan kuat di luar siaing agar negara-negara serikat menghentikan atau tidak sama sekali gerakan komunis ke Indoensia yang kaya raya (Pikiran Rakjat 14 Maret 1958).

Di antara negara peserta SEATO sendiri tidak satu pendapat mengenai situasi Indonesia. Apabila AS, Inggris, Australia dan Filipina cenderung mengkhawatirkan  gerakan komunis di Indonesia  sekalipun tampak tidak secara terbuka mendukung para pemberontak, maka Menteri Luar Negeri selandia Baru Nash malah menyarankan SEATO agar menawarkan bantuan ekonomi kepada Indonesia. Sikap ini membuar delegasi lain heran.  Dulles malah menuding Nash tidak megingatkan rakyatnya terhadap komunisme.   Sikap Nash ini mungkin karena pemerintahan di selandia Bru masa itu didomiansi Partai Buruh (Pikiran Rakjat, 14 Maret 1958).

Dulles menyebutkan bahwa SEATO tidak perlu ikut campur tangan di Indonesia.  Tetapi ai juga mengingatkan bahwa kalau keamanan SEATO terancam oleh perkemabangan yang terjadi di Indonesia, maka negera-negara SEATO harus mengadakan konsultasi tentangnya (Pikiran Rakjat 16 Maret 1958). Dari pernyataan ini Dulles menunjukan sikap terselubung Amerika Serikat terhadap permasalahan PRRI/Permesta.

Dalam pidatonya di  siding SEATO Duless menyebutkan kemungkinan kaum komunis merencanakan agresi baru di daerah SEATO.  Penguasa-penguasa komunis takut kalau SEATO memblokir gerakannya.  Hal yang senada juga diungkapkan Menlu Filipina Serrano bahwa persekutuan SEATO mampu menahan laju komunis di daerahnya. Tetapi persekutuan  tidak berhasil mengurangi ancamannya ke Negara-negara SEATO.   Komunsime internasional tetap agresif (Antara, 11 Maret 1958).

Secara tertutup Filipina sulit disangkal terlibat dalam PRRI/Permesta. Setidaknya dukungan dilakukan di bawah tangan. Pikiran Rakjat edisi 3 April 1958 memberitakan bahwa seorang pedagang muslim Filipina membenarkan bahwa Rabu malam 2 April 1958 penyelundup dari daerah Filipina Selatan (sejarawan ahli Indonesia asal Amerika Barbara Sillars Harvey menyebut mereka adalah orang-orang Sulu)   membantu menyelundupkan senjata-senjata gelap ke daerah pemberontak di Indonesia pedagang tersebut melaporkan para penyelundup menggunakan perahu cepat bernama Vinta dan disembunyikan di bawah tumpukan kopra.

Pada pertengahan April 1958 bekas atase militer Indonesia untuk AS Alex Kawilarang dinyatakan telah memihak kaum pemberontak. Pada Minggu 13 april 1948 Kawilarang diketahui telah berada di Manila  untuk tugas yang tidak diterangkan. Kawilarang diberitakan berada dalam pesawat American Airways bersama Jacob Warrouw dan seorang Amerika bernama Bernhard Edison.  Kolonel ini disebutkan kantor berita Filipina sebagai obyek buruan oleh agen-agen pemerintah Indonesia Kawilarang dan dua pengantarnya itu disebutkan berada di Forbus Park, sebuah tempat di luar kota Manila. Kawilarang membawa visa Filipina (Pikiran Rakjat,16 April 1958).

Antisipasi Kedutaan RI di Manila dan Kementerian Luar Negeri RI

Antara kedutaan RI di Manila dan Kementerian Luar Negeri beberapa kali memberikan pernyataan yang tidak sinkron. Memang pada saat yang kritis Januari-februari, duta besar Nazir Pamuntjak cuti selama dua bulan.  Tugasnya dijalankan De Villeneve.  Nazir kembali ke posnya padaawal Maret 1958. Tetapi pernyataan pertamanya membuat gerah Jakarta:   bahwa Djuanda akan meletakan jabatan dalam satu pekan.  Kontan Menetri Penerangan Sudibjo memperingatkan Nazir bahwa ia tidak boleh memberikan keetrangan tyang bersofat politis dan prinsipil.

Apakah sebetulnya Nazir  sepandangan setidaknya dengan Hatta yang mencoba mengambil jalan tengah. Tetapi bahwa pandangan politik Nazir Datuk Pamuntjak dekat dengan Hatta, sebetulnya bisa dilacak bahkan sejak awal pergerakan.  Sama-sama berasal dari Minangkabau dan Nazir menempuh pendidikan Fakultas Hukum di Leiden sementara Hatta di bidang ekonomi juga di Belanda dan mereka sama-sama tokoh Perhimpunan Indonesia.  Nazir bersama Hatta, sebetulnya juga dengan Ali Sastroamidjojo pernah dipenjara Belanda di Rottredam pada 1920-an dengan tuduhan mengikuti partai terlarang.  Namun mereka semua dibebaskan dari dakwaan.

Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio pada April 1958 singgah di Manila dalam perjalanan pulang dari Tokyo ke Jakarta. Rencana perjalanan yang tadinya hanya menghadiri penandatanganan dokumen ratifikasi perjanjian antara Indonesia dan Jepang soal pampasan perang, menjadi kunjungan ke Manila untuk mengadakan pembicaraan dengan pejabat pemerintah Filipina.  Pertemuan itu untuk menegaskan bahwa pemerintah Filipina tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Pikiran Rakjat, 18 April 1958).

Pada 3 April 1958 Sekretaris Jenderal Kementerian luar Negeri  Indonesia Suwito  meminta agar pemerintahan negara asing tidak membiarkan negaranya menjadi basis operasi dan propaganda para pemberontak (Antara 8 Maret 1958).  Permintaan Indonesia diperhatikan, namun tampaknya Filipina juga di sisi lain memberikan ruang gerak  kepada pemberontak.   Sikap ambigu itu sebetulnya juga tampak sebelum diselenggarakannya Konferensi  Asia Afrika.   Filipina sempat diberitakan menolak menghadiri KAA. Keanggotaan negeri ini dalam SEATO (Pakta Pertahanan negara-negara Asia Tenggara) yang digagas AS dan isu politik bahwa KAA akan menjelma menjadi blok anti barat dan anti kulit putih. (Pikiran Rakjat, 4, 5 Januari 1955).

Sejarah komunisme di Filipina sendiri berawal ketika Partai Komunis Filipina didirikan untuk pertama kalinya di Manila pada 7 November 1930, oleh Crisanto Evangelista, pemimpin yang paling menonjol dari gerakan serikat buruh Filipina pada masanya.   Pembentukan Partai menandai upaya awal untuk mengintegrasikan teori Marxisme-Leninisme dengan kondisi konkrit dari Filipina; dan menarik para aktivis yang paling maju dari gerakan buruh dan petani ke dalam partai pelopor revolusi Filipina. Kepemimpinan dan keanggotaan datang terutama dari jajaran pekerja.

Beberapa bulan setelah itu, pada tanggal 1 Mei 1931, unjuk rasa buruh yang diselenggarakan oleh Partai di Manila terganggu oleh agen bersenjata kolonial AS dan pemerintah reaksioner lokal. Para pemimpin CPP ditangkap dan dipuji ke pengadilan dengan tuduhan penghasutan. Pada  1932, mereka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pengasingan internal yang; dan Partai dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung rezim kolonial AS.  Presiden Filipina pasca Perang  Dunia ke Dua  begitu dekat Amerika Serikat. Seperti AS, Filipina begitu reaktif kalau ada ancaman komunisme walau itu di negara tetangganya.

Ketika Menteri Pertahanan Filipina Jesus Vargas menuding adanya penasehat militer Rusia di Indonesia, Menteri Luar Negeri Subandrio balik menantang Vargas dan mengundananya untuk datang ke Jakarta. Subandrio menuding Vargas mencari alasan agar Filipina bisa memberikan pertolongan kepada pemberontak (Pikiran Rakjat, 13 Mei 1958).

Pada awal Mei 1958 Presiden Soekarno di depan mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung mengingatkan dunai luar agar jangan bermain api di Indonesia.  Soekarno menyebutkan bahwa Indonesia tidak akan bisa menjadi Korea yang kedua (Pikiran Rakjat, 3 Mei 1958).  Hal senada juga diungkpakn Menlu Subandrio pada pertengahan April 1958  bahwa Indonesia tidak akan terpecah sperti Vietnam (Pikiran Rakjat, 17 April 1958).

Indonesia memang tidak sampai menjadi Korea Kedua. Tetapi perebutan pengaruh dua blok ini di antara elite politik ini terus berlangsung hingga 1960-an. Keterlibatan baik komunisme internasional mau pun CIA  pada era itu sulit untuk disangkal.

Irvan Sjafari

Sumber situs

http://riezkyhistory07.blogspot.com/2011/04/keterlibatan-australia-dalam.html diakses pada 27 Mei 2015

http://philippinerevolution.net/statements/19881226_brief-review-of-the-history-of-the-communist-party-of-the-philippines diakses 29 Mei 2015

http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bandung-1955-1-catatan-tentang-konferensi-asia-afrika-18-24-april-1955-549290.html diakes 27 Mei 2015

https://vgsiahaya.wordpress.com/2009/03/10/djago-the-rooster/ diakes pada 30 Mei 2015

Sumber Buku

Conboy, Kenneth J, Morrison, James, Feet to The Fire: Covert Operations In Indonesia 1957-1958, Naval Institue Press, 1999

Cortes, Rosario Mendoza, Philippine Presidents 100 Years, Quezon City Phillipines, 1999

Des Alwi,Friends and Exiles: A Memoir At The Nutmeg Island and The Indonesian Nationalist Movement, Cornell South East Asia Program, 2008

Druglever, Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan  Penentuan Nasib Sendiri, Yogyakarta: Kanisius, 2010

Harvey, Barbara Sillars, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Press, 1984

Kahin, Andrey dan George McTurnan, Subversion as Foreign Policy : The Secret Eisenhower and  Dulles Debacle in Indonesia, University of Washington , 1997

Murfeet, Malcom  H, Cold War: South East Asia, Singapore, 2012

Suffatni, Retno, Tokoh-tokoh Tak Terlupakan, Yogyakarta: Pustaka Populer, 2003

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun