Praktis pada November 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Barat sudah porak poranda, sebagian dibubarkan anggotanya sendiri. Sebagian kecil pengurus dan anggotanya diburu dan ditangkap.
Seperti yang saya ungkap dalam tulisan sebelumnya, ada anggota PKI yang terbunuh, tetapi tidak semasif kawan-kawannya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Pada 2 Desember 1965, Pikiran Rakjat melaporkan bahwa di Kabupaten Garut telah ditangkap oknum Gerakan 30 September 1965 sebanyak 278 orang. Brosur-brosur PKI juga disita. Itu salah satu dari sedikit berita terkait dengan PKI di Jabar menjelang akhir 1965.
Minggu terakhir November hingga akhir Desember 1965, perhatian masyarakat kota Bandung seperti diungkap dalam Pikiran Rakjat tidak lagi berfokus kepada penangkapan terhadap anggota PKI dan cerita-cerita soal rencana PKI untuk mengusai Jawa Barat. Mereka lebih khawatir dan resah dengan kenaikan harga sembako, bensin dan minyak tanah.
Harga beras kualitas I di Pasar Baru Bandung sejak 22 November meningkat dari Rp.2.200 mencapai Rp2.500 per kilogram. Kenaikan harga tersebut terjadi setelah dinaikannya harga resmi bensin menjadi Rp250 per liter. Bahkan pada awal Desember 1965 harga minyak tanah sudah mencapai Rp400 per liter.
Harga sayur mayur juga meningkat tidak terlalu tinggi. Sayur kangkung Rp350 menjadi Rp400, kol putih Rp650 menjadi Rp800, bayam Rp350 menjadi Rp450.
Mulanya sumber Pikiran Rakjat dari pejabat menuding kenaikan harga beras disebabkan banyaknya pedagang yang menimbun melebihi jumlah yang ditetapkan dalam surat izin penyimpanan. Pedagang tak mematuhi penetapan harga yang dikeluarkan oleh Panitia Harga di daerah masing-masing.
Faktor utama yang menjadi alasan para pedagang menaikan harga ialah pengangkutan yang sulit dan ongkosnya yang mahal. Apalagi dengan menaikan harga bensin baru-baru ini serta kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya seperti minyak tanah, sayur mayur dan lauk pauk.
Pada 13 Desember 1965 Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden No 27/1965 yang berlaku pada pukul 20.00. Pen-Pres itu menetapkan nilai perbandingan antara uang rupiah lama yang beredar di luar Provinsi Irian Barat dengan uang rupiah baru, yaitu Rp1.000 uang lama sama dengan Rp1 uang baru.
Dalam Pen/Pres itu semua jenis uang kertas Bank Negara Indonesia dari pecahan Rp10 ribu dan Rp5.000 yang berlaku sebelumnya, setelah satu setengah bulan diberlakukan rgulasi ini tidak lagi merupakan alat pembaran yang sah. Sementara semua jenis uang kertas pemerintah dan pecahan Rp100 ke bawah berlaku hingga enam bulan.Â
Kebijakan itu sebetulnya bukan sanering, tetapi redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang tersebut sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Tujuan kebiakan redenominasi pada intinya adalah untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.