Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Hanum dan Rangga", Drama Romantis dan Kritik Media Abad 21

9 November 2018   16:37 Diperbarui: 12 November 2018   17:12 1733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanum dan Rangga (MD Pictures)

Rating adalah dewa bagi televisi. "Islam itu seksi. Saya bukan tidak suka pada Islam, tetapi saya hanya berbisnis," ujar Cooper santai seolah merasa tak berdosa kalau pemberitaannya berdampak pada narasumbernya. 

Bagaimana dia dengan bangga menyebutkan sebuah acara yang diproduseri Hanum mendapat rating 10,2 persen dan ditonton 20 juta orang di Youtube. 

 "Rating itu seperti adiktif, ketika kau sudah kecanduan maka kau akan terus mencobanya," ujar Sam (Alex Abbad tangan kanan Cooper) kepada Hanum. "Berikan penonton apa yang mereka yang suka, bukan apa yang mereka butuhkan!" kalimat Cooper seperti menusuk saya. 

Di sisi lain Cooper seenaknya memaki awaknya kalau share dan rating sampai turun, bahkan bisa memecatnya. 

Pemilik media seperti Dewa Janus bermuka dua, memberikan konstribusi membangun peradaban, tetapi juga sebaliknya bisa menghancurkannya. Tokoh Cooper ini mengingatkan saya pada lawan James Bond dalam "Tomorrow Never Dies", yang mengisahkan raja media yang tidak peduli bahwa Perang Dunia ke III bisa dipicu oleh pemberitaannya.

Itu kelebihan pertama film ini. Kedua pada Departemen kasting, akting Arifin Putra sebagai Andy Cooper memikat. Tokoh ini jadi begitu menyebalkan. 

Arifin mampu menjadikan Cooper seperti setan dalam bentuk manusia. Ekspresi wajahnya dan ucapannya terlontar begitu natural. Begitu juga Alex Abbad jadi tangan kanannya Sam, yang aslinya bernama Samanto orang Wonosobo, tetapi tercabut akar budayanya. 

Tentu aja Acha Septriasa yang sudah bermain kelima kalinya sebagai Hanum makin matang. Rio Dwanto yang menggantikan Abimana sebagai Rangga tidak mengecewakan, hanya saja dia terasa lebih "cool", begitu juga dengan pemain lain pas memainkan karakternya. Ok, itu kelebihannya.

Kritik atas film ini adalah setting waktu. Kapan nih? Kalau sebelum kisah Hanum dan Rangga di Vienna (Wina), Austria dalam "99 Cahaya di Langit Eropa" rasanya ada yang janggal.

Apa lagi disebutkan dua tahun sesudah peristiwa 9/11 (atau saya salah dengar 12 tahun)? Kalau pada 2003, bukankah pada masa itu ponsel cerdas berbasis android belum ada? Rasanya era sekarang. 

Saya kurang "sreg" dengan judulnya "Hanum dan Rangga: Faith and The City". Mengapa tidak "Faith and The City" saja? Justru pesannya akan sampai, mengkritik habis-habisan kehidupan Kota New York. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun