Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1962, Akhir Pemberontakan Kartosuwiryo

9 Oktober 2018   12:04 Diperbarui: 9 Oktober 2018   12:10 1834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haedline Pikiran Rakjat 6 Juni 1962-Perpustakaan Nasional.

Pada Kamis, 15 Maret 1962 ruang konferensi pers SKODAM VI Siliwangi  penuh sesak tidak saja wartawan dari Bandung, tetapi juga wartawan yang datang dari Jakarta.  Sebetulnya konferensi pers yang digelar pihak militer adalah hal yang biasa dalam situasi menghadapi Pembebasan Irian Barat.

Namun kali ini yang berbicara bukan Panglima Daerah Militer Siliwangi Ibrahim Adjie atau Kepala penerangannya, melainkan  beberapa pria bersahaja perdesaan  berlogat Sunda. Sekalipun mereka didampingi Kepala Pendam Letkol M Jamil. 

Seorang di antara para pembicara bernama Ateng Djaelani Setiawaan.  Tidak ada wartawan yang menganggap pria itu narasumber orang biasa, setelah diperkanalkan sebagai Panglima II KW APNII, alias salah satu panglima perang dari Kartosuwiryo.

Pria berusia 39 tahun ini baru saja kembali ke pangkuan ibu pertiwi lima hari yang lalu di Ciherang, Gunung Kendeng, Cianjur Selatan.   Dua orang lainnya juga tak kalah pentingnya,  yaitu perwira TII lainnya bekas Panglima II AKW 7 H Zainal Abidin, Danu (Danu Mohammad Hasan) dan OZ Mansyur.

"Politik Pak Imam telah gagal. Rakyat tidak lagi di belakangnya. Gerakan Pak Imam sedang menghadapi kehancuran," cetusnya dengan getir, seraya menyitir pepatah Latin  vox populi vox dei.

Ateng mengungkapkan, sejak  Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor449/1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi membuat kepanikan di antara anggota gerombolan Kastosuwiryo.

"Pak Imam kemudian mengeluarkan perintah perang semesta sebagai reaksi dikeluarkannya kebijakan amnesti dan abolisi untuk mengatasi keadaan yang semakin kecau di antara kelompoknya yang berada di hutan-hutan," papar Ateng.

 Operasi pagar betis telah berhasil memutuskan hubungan komunikasi antar satu kelompok dengan kelompok dalam gerombolan Kastosuwiryo.  Bahkan suplai makanan pun terputus. "Kami bukanlah malaikat," cetus Ateng.

Sejak dilakukan operasi pagar betis di Gunung Galungung dan Gunung Halu, Kastosuwiryo selalu dikawal seringkali terpisah dari pengawalnya. Akhir Oktober 1961, Sang Imam pindah ke Gunung Guntur dan selalu dikawal 7 pucuk bren. Kastosuwiryo tidak pernah dikawal secara dekat. Kastosuwiryo sehari-hari bersemedi.

Menurut Ateng, Kastosuwiryo tinggal bersama isteri dan tujuh anaknya. Dua anaknya yang sulung, semuanya wanita telah meninggal.  Dia menulis buku setebal 250 halaman tik, menghabiskan 200 rim kertas. Buku itu berisi riwayat asal muasal Kartosuwiryo tentang nenek moyangnya dari keturunan Aria Jipang. 

"Karto mendapat wahyu cakaraningat. Dia menyebut dirinya Ratu Adil sebenarnya.   Dia menanti senjata pamungkas dari Tuhan," tutur Ateng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun