Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Polemik Insinerator di Bandung Raya

12 Maret 2018   14:07 Diperbarui: 13 Maret 2018   07:02 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skema PLTsA Legoknangka (kredit foto: prfmnews.com)

Di sisi lain biaya  menjadi mahal. Kalau insenerator diletakkan di TPA selain ada biaya sewa lahan ada biaya mengoperasikan insinerator. Berdasarkan peraturan terbaru semua siswa pembakaran insenerator adalah B3, berarti sampah yang tadinya bukan B3, begitu abunya tersisa karena pembakaran langsung diberlakukan B3.

"Yang benar adalah pemilahan yang seharusnya bisa dari rumah tangga. Sayangnya sulit di Indonesia menyuruh rumah tangga memilah sampah.  Yang bisa dilakukan  dibuatkan fasilitas pemilahan sampah di TPS. Sampah bisa direcycle di TPS, sehingga ritase truk sampah menjadi menurun," terang Priambudi.

Lanjut dia, sampah organik dikomposting dengan alat, jadi bau tidak menyebar dan tidak ada leacchate yang terbentuk.  Hasilnya menjadi pupuk kompos.  Biaya operasional komposting lebih murah daripada biaya operasional insinerator. 

"Sementara plastik  (yang tersisa) dan sampah yang masih dibakar disatukan dan dibuat Refused Derived Fuel(RDF). Bentuk RDF itu seperti pelet kecil gabungan dari plastik dan bahan-bahan berenergi bakar tinggi. RDF ini bisa digunakan untuk tungku di industri kecil," pungkas dia.

Solusi lain , Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sebetulnya sudah mencoba menggunakan teknologi Biodigister, walaupun berskala kelurahan. Percontohannya sudah dilakukan di Kecamatan Kiaracondong pada Oktober 2014. Biodigister itu berbahan bakar gas metan dari sampah organik yang bisa menyalakan mesin disel dan bisa digunakan untuk memasak (6).

Teknologi ini sebetulnya pernah mendapat dukungan dari Walhi Jabar. Deputi Walhi Jabar Dwi Retnastuti metode pengelolahan sampah ini menghasilkan listrik, tetapi tidak mengeluarkan asap hitam, hingga lebih ramah lingkungan (7).

Hanya saja jadi pertanyaan, mengapa akhirnya insinerator lebih mencuat? Apakah membangun biodigister di setiap kelurahan seperti rencana Kang Emil kurang efesien?

Konsep Sampah Nol dari Rumah Tangga, Apa Mungkin?

Apa yang dijelaskan kawan saya itu rasanya memang suatu terobosan lain. Soal jadi pemilahan sampah, saya teringat waktu saya bekerja pada sebuah media komunitas  wilayah Kelapa Gading sekitar sepuluh tahun yang silam, salah satu RW di Kelapa Gading Timur sudah melakukan kegiatan tersebut.

Ketua RW menyediakan tempat pemilihan sampah untuk warganya.  Pegawai kebersihan RW mengambil sampah dari warga untuk kemudian dipilah.  Sampah organik dijadikan pupuk kompos, sampah plastik seperti botol,  gelas dijual kiloan. 

Pupuk kompos yang awalnya dipergunakan untuk kebutuhan warga sendiri, malah diminati berbagai pihak.  Akhirnya dari aktivitas pemilihan sampah itu, RW tersebut memperoleh penghasilan.  Memang warga yang tinggal di RW itu golongan menengah ke atas yang memungkinkan mereka menggaji pegawai sendiri dan tingkat pendidikan warganya rata-rata juga tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun