Mohon tunggu...
June
June Mohon Tunggu... Freelancer - nggak banyak yang tahu, tapi ya nulis aja

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bila Kasus Reynhard Terjadi di Indonesia

18 Januari 2020   17:30 Diperbarui: 18 Januari 2020   17:27 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemerkosaan. sumber gambar: shutterstock.com



Kasus kekerasan dan penyerangan seksual tidak terbatas berlaku pada gender dan usia seseorang. Dapat menimpa siapa saja dan bentuknya beragam. Ada yang berupa menyentuh bagian tubuh tertentu, foto, serangan verbal, hingga pemerkosaan. Reynhard Sinaga yang telah membuat gempar publik atas kasus pemerkosaan yang dilakukannya di Manchester, Inggris, merupakan salah satu kasus yang masuk dalam catatan kasus besar dalam sejarah dunia kriminal. Untungnya terjadi di Inggris, yang mana hukum di sana sudah cukup mapan untuk menjeratnya. Bayangkan saja bila terjadi di Indonesia, kasus Reynhard akan menjadi cukup sulit untuk ditangani. 

Bila terjadi di Indonesia, alih-alih melindungi korban, aparat dan publik justru cenderung fokus mengulik kesalahan korbannya. Misalnya saja korban pemerkosaannya adalah perempuan, publik akan menyerang korbannya dengan menyalahkan pakaian si perempuan dan perilaknya. Korban rentan didiskreditkan oleh publik dan aparat. 

Hukum di Indonesia masih sangat terbatas untuk mengusut kasus banyak kasus, terlebih kasus kekerasan seksual. Hal ini disampaikan oleh pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Uli Pangaribuan. Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, juga menyebutkan bahwa hukum di Indonesia belum cukup memadai dan progresif dalam menangani kasus kekerasan seksual. Proses hukum cenderung menjadi keluar jalur manakala aparat justru lebih fokus mengulik kehidupan korban. 

Setahu saya sampai saat ini baru hanya ada beberapa intrumen hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual, yakni Pasal 285 KUHP, serta Pasal 289-296 KUHP. 

Pasal 285 KUHP menjerat seseorang yang memaksa orang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengannya akan dikategorikan sebagai memperkosa, dihukum dengan kurungan selama 12 tahun. Pasal ini tentu tidak dapat menjerat Reynhard, karena dalam pasal tersebut menyebutkan pemerkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan, dengan bentuk penetrasi penis ke vagina. Dari kasus Reynhard, korbannya adalah pria yang main ke klub malam. Hal ini tentu membuat korban menjadi didiskreditkan oleh publik di Indonesia. 

Pasal 289-296 KUHP menjerat kasus pencabulan. Sedangkan di Indonesia, Penetrasi penis ke anus masuk dalam kategori pencabulan. Apabila pemerkosaan bukan antara laki-laki dengan perempuan, maka akan dikategorikan juga sebagai pencabulan. Sedangkan hukuman untuk tindak pencabulan lebih ringan daripada hukuman pada pasal 285 KUHP, yakni 7 tahun. 

Dari kedua instrumen tersebut sudah terlihat bahwa hukum di Indonesia masih jauh untuk dapat mengadili Reynhard. Bahkan bila ditangani oleh hukum Indonesia, hukuman yang akan didapatkan oleh Reynhard akan menjadi tidak adil bagi korban dan masyarakat. Hukum di Indonesia masih sangat jauh untuk dapat mengakomodasi kasus kekerasan seksual seperti yang dilakukan Hukum Inggris, yang sudah mampu mengakomodasi beragam bentuk kekerasan seksual.

Hukum di Inggris juga memasukan beberapa variabel untuk mengakumulasikan hukuman pelaku, dilihat dari jumlah korban, kerugian lainnya yang ditimbulkan, serta pasal lainnya yang dapat menyerempet ke pelaku. Sedangkan di Indonesia, jumlah korban tidak masuk dalam variabel hukum untuk menjerat pelaku. 

Kedua instrumen hukum Indonesia tersebut juga cukup rumit dalam menjerat pelaku, karena pembuktiannya juga rumit. Misalnya untuk membuktikan bahwa ia benar korban, aparat akan menyelidiki korban dengan beberapa pertanyaan dengan frontal dan memaksa. Korban bahkan diminta untuk menceritakan ulang secara detail. Padahal hal tersebut merupakan trauma besar bagi korban. Beberapa pertanyaan lain yang justru menterang korban dari aparat adalah ditanyai apa yang sedang dilakukan oleh korban pada saat itu, berapa kali ia melakukan hal itu, bagaimana pakaian yang dikenakannya, jam berapa kejadiannya, apa bentuk perlawanannya, apakah pasrah saja, bagaimana perasaanya, posisinya seperti apa. Banyak sekali serangan yang diterima oleh korban. Hal ini bukannya mengarah pada penyelesaian, justru menabur garam di luka korban. 

Dari proses hukum yang berjalan di Inggris, semestinya hukum di Inggris terhadap kasus kekerasan seksual bisa diadopsi di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun