Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Keajaiban Tuhan Berkat "Berbagi"

25 November 2017   18:11 Diperbarui: 25 November 2017   18:44 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, kematian adalah takdir yang harus diikhlaskan. Hak Tuhan melekat didalamnya dengan kerahasiaan yang mutlak. Bunda pergi meninggalkan kami dengan tenang. Satu tahun lima bulan keluar masuk rumah sakit, dan selama itu saya dan anak-anak merasa sudah maksimal merawatnya. Allah lah yang menentukan endingnya.

Biaya pengobatan selama satu tahun tiga bulan  berjalan  mandiri non bpjs (karena asumsi kami pada saat itu, jika menggunakan BPJS akan diperlakukan diskriminatif oleh pihak rumah sakit). Namun selama pembayaran mandiri alhamdulillah mampu tercukupi tanpa beban hutang apalagi harus menjual aset. Tabungan kami tidaklah seberapa, mengingat kelima anak saya yang masih sekolah, dan sumber penghasilan hanya dari pekerjaan saya saja. Sedangkan saat itu, untuk sekali proses kemoterapi sekaligus rawat inap perlu dana paling sedikit 10 juta (itupun harga rawat inap di kamar kelas 3-bangsal dengan 20 pasien). Mungkin pembaca penasaran bagaimana kami bisa mampu membiayai seluruh pengobatan?

Alkisah, dua nomor rekening saya di bank bak mata air yang selalu mengeluarkan tetesan segar untuk biaya pengobatan bunda. Keajaiban? Entahlah apapun definisinya yang jelas setiap saya butuh dan harus membayar rumah sakit, saldo selalu cukup bahkan berlebih. Kalau sekali dua kali mungkin masih sebagai sebuah kebetulan. Namun, puluhan kali dalam kondisi membutuhkan selalu ada uang di kedua rekening saya. Jumlahnya cukup besar dimulai dengan angka minimal  transfer 500 ribu hingga yang paling fantastis dan masih menjadi misteri sampai sekarang adalah 70 juta rupiah seminggu sebelum istri saya meninggal.

Usut punya usut didasari rasa takjub dan penasaran, saya mencoba me-replay perilaku Bunda selama masih hidup. Mungkin, sedekah terbaik itulah jawabannya. Tanpa berniat untuk isapan jempol belaka, setiap pendapatan saya baik dalam gaji dan insentif lainnya selalu yang diutamakan adalah mengeluarkan; Zakat, Infaq dan Sedakahnya terlebih dahulu pada hari itu juga tanpa penundaan kepada fukara wal masakin. Belum cukup sampai disitu, profesi saya sebagai konsultan yang kerjanya seringkali bepergian kemana-mana, pasti sarat dengan buah tangan khas masing-masing daerah (terutama berbagai jenis makanan khas). Bunda selalu memanggil anak-anaknya untuk berkumpul kemudian membukanya didepan anak-anak dan yang pertama kali dilakukan adalah memisahkan bagian untuk tetangga terdekat terlebih dahulu untuk kemudian anak-anak ditugaskan langsung mendistribusikannya ke rumah-rumah tetangga. Sepulangnya baru mereka boleh menikmati jatahnya masing-masing.

Doktrin yang selalu diajarkan ke anak-anak adalah; kita harus menyedekahkan yang terbaik dan tanpa penundaan. Kebiasaan lain setiap pagi menjelang anak-anak berangkat sekolah dan kuliah adalah infaq anak-anak yang wajib dikeluarkan pagi sebelum belajar. Sasaranya fleksibel; orang miskin, penjaga sekolah, satpam dan bahkan tukang becak tergantung keikhlasan anak-anak. Ibunya selalu menanyakan ketika anak-anak pulang "infaq-nya tidak lupa kan?", kalau jawabannya lupa atau belum, seketika harus keluar rumah untuk menuju mushalla terdekat untuk berinfaq. Padahal kelima anak saya tidak pernah sekalipun diberi uang saku. Bunda selalu menyiapkan makan dan jajan nya secara homemade buatan sendiri yang diyakini sehat dan bergizi. Yang salut anak-anak sekalipun tidak pernah protes dan enjoy-enjoy saja dengan prinsip yang diterapkan oleh Ibunya.

Momen yang paling dramatis adalah satu hari menjelang Bunda meninggal. Beliau telah dirawat dua minggu dirumah sakit besar di kota Yogyakarta atas permintaan dokter karena keterbatasan fasilitas medis di rumah sakit sebelumnya. Dan selama dua minggu tersebut, Bunda dirawat di kamar pavilliun yang perharinya untuk menginap saja menelan hampir dua juta rupiah (karena dokter spesialis yang ditunjuk merawat Bunda merupakan dokter VIP yang tidak bisa visit ke bangsal maupun kamar standar). Setelah shalat ashar Bunda bersikeras minta pindah kembali ke rumah sakit sebelumnya. 

Nadanya memaksa dan harus saat itu juga. Padahal ketentuan rumah sakit, jika pasien pulang dengan kehendak sendiri kami harus menanggung biayanya secara pribadi (BPJS tidak menanggung). Kami sudah berusaha memberikan pengertian kepada Bunda namun Bunda bersikeras memaksa dan menyuruh menjual semua aset jika perlu, yang jelas harus saat itu juga ia dipindahkan. Dengan tanpa berprasangka urusan administrasi rumah sakit  saya selesaikan. 

Fantastis biaya perawatan di pavilliun selama dua minggu sebesar 52 juta. Kaget bercampur bingung karena tidak tahu harus membayar dengan apa, harus meminjam kemana. Hari sudah sore, pinjaman dalam jumlah besar juga tidak bisa didapat secara langsung pikir saya saat itu. Iseng saya cek saldo di ATM, spontan saya kaget melihat 70 juta terkirim secara misterius, hingga saat ini saya tidak tahu siapa pengirimnya. Allah maha baik yang pasti memberikan cobaannya sepaket beserta solusinya. 

Seketika saya ke ATM untuk tarik tunai dan  melunasi biaya rumah sakit. Singkat cerita selepas maghrib, dengan ambulan Bunda berpindah ke rumah sakit yang lama. Sesampainya di kamar perawatan beliau tertidur pulas ditemani anak-anaknya secara bergantian. Hingga kemudian lantunan adzan subuh dari masjid rumah sakit  menghantarkan Bunda pergi untuk selama-lamanya.

Masya Allah. Betapa dahsyatnya dampak berbagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun