Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Cinta di Musim Kemarau

14 November 2017   20:07 Diperbarui: 14 November 2017   20:24 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber-Bangka Pos, Minggu 02 November 2014 - Eligi Cinta di Musim Kemarau - Oleh Junaidi Khab

Suara burung-burung di reranting pohon pada pagi hari itu membawa suasana lebih sejuk nan indah. Bagaikan berada di taman surga Firdaus meski tak pernah melihat dan mengunjunginya. Lambaian-lambaian daun pepohonan memberi isyarat bahwa ia tidak sendirian. Terpaan angin di daun-daun itu menjadi teman sesandingan dalam tiap langkah yang aku tapakkan di atas bebatuan tempat aku mengadu perasaan pada alam. Kehidupan di atas bebatuan itu tidak memberi secercah harapan meski terasa bahagia hidup dalam lantunan dan syair-syair para pujangga cinta di lembah kegersangan.

Sebongkah batu yang terpaku, merenungi nasib dirinya yang tak ada kata dari suara hatinya. Kian hari kian menghitam oleh terpaan sinar sang surya. Namun tak ada kata hina bagi dirinya. Bagiku ia teman yang setia dalam menunggui terbenamnya sang surya di kala sore hari atau di kala pagi hari. Kini mungkin hidupku juga bernasib sama dengan batu itu. Terdiam membisu tak ada kata yang dilontarkan lantaran hati bimbang perasaan gundah gulana dirundung nestapa oleh kisah cinta yang kujalani. Aku telah lama berbagi dengan batu hitam pekat itu.

Di musim kemarau itu aku tak memiliki gairah hidup lagi dalam mengarungi bahterah di dunia ini. Segalanya sirna. Segalanya binasa. Bukan hanya tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang menghembuskan nafasnya pada musim itu. Kisahku mungkin terlalu prematur kejadiannya. Tak mungkin mampu menghadapi elegiku yang masih terus bermuara dalam lubuk hati ini.

Sosok gadis cantik dan manis kini harus lenyap dari pelukanku. Aku tak mampu memeluknya. Aku lemah dibanding kekuatan Tuhan. Tak ada rinai-rinai yang memberikan harapan dalam setiap lamunanku. Istri tercintaku ikut terbang bersama Israil. Tiba-tiba lamunanku dihembus suara molek di belakangku.

"Yah, kenapa sendirian?".

Aku langsung menoleh melihat pada datangnya suara molek tadi. Tak ada angin, tak ada suara burung. Suara itu jelas di telingaku mengingatkanku pada sosok Safirah istriku yang telah diskusi dengan Israil.

"Eh, Rita, ada apa nak?".

"Lapar yah...".

Suasana girang dalam hatiku redup seketika di saat Rita mengeluh lapar. Bahan persediaan di rumah sudah tinggal beberapa kantong beras saja. Cukup untuk dua bulan jika makan dalam sehari hanya dua kali dengan sepiring nasi. Dadaku kuusap. Air mataku menetes. Cepat-cepat aku mengkedipkan terus agar Rita tak tahu apa yang sedang terjdi pada diriku sebagai sosok ayah yang tak memiliki pekerjaan apapun. Apalagi di musim kemarau saat ini.

Kugendong Rita dibawa pulang ketika matahari sudah mulai menguning. Kata-kata indah selalu kulontarkan. Itu sebagai ganti sesuap nasi yang biasa ia lahap tiap hari. Raut mukanya tampak ceria ketika aku memberikan rumor yang menggelikan hatinya. Namun kala itu senda gurauku tak mempan lagi. Mungkin rasa laparnya sudah melilit perutnya. Rita terus mengeluh kelaparan setelah terjaga di malam hari.

Dengan mata masih panas lantaran baru saja terpejam, aku dengan tubuh bergoyang mendekati periuk yang berisi nasi. Tinggal setengah piring dengan lauk daun ketela dan garam putih. Sepiring nasi itu pun kubawa ke hadapan Rita. Dengan lahap ia langsung menghabisinya. Ia terlelap setelah melahap sepiring nasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun