Terletak di didukuh Tempel desa Penadaran Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan sebuah stasiun cuaca berdiri tegak menjulang, mempunyai tinggi kurang lebih 30 meter dan diameter kurang lebih dua kali rentangan tangan orang dewasa dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang diwariskan secara turun temurun baik dalam hal penggunaan (technical procedure) maupun perawatanya (maintenance).
Lebih lanjut oleh pak H. Kaswoto (55 th) yang merupakan ketua kelompok tani dari masyarakat setempat yang menuturkan lebih jauh tentang keberadaan pohon Randualas bahwa dahulu pohon ini diberi pagar melingkar sehingga menyerupai kandang. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat hingga kini menyebutnya dengan nama pohon "Kandangan".
Selain itu, hingga saat ini oleh masyarakat sekitar pohon Randualas ini masih sering menyertakan pohon Randualas dalam upacara adat seperti pesta syukuran pernikahan maupun khitanan dalam bentuk memberikan "sesaji" yang menurutnya bukan karna klenik ataupun musrik melainkan sebagai upaya merawat keberadaan pohon agar tidak diganggu oleh tangan tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Sistem pranotomongso terdiri dari 12 mongso dan sudah dikenal ribuan tahun lalu oleh masyarakat jawa, Namun sebagai kalender baru diresmikan oleh raja Surakarta pada tanggal 22 Juni 1855. Sistem Pranotomongso ini didasarkan pada tanda tanda alam seperti kondisi tanaman, fenomena perubahan suhu, tingkah laku hewan maupun rasi bintang seperti contoh pada mongso kapat: waspo kumembang jroning kalbu mongso ini ditandai sumber air banyak yang kering, musim kemarau, pohon kapuk mulai berbuah, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, dengan rasi bintang penunjuk adalahjaran dawuk.
Dengan kata lain, dengan adanya pohon Randualas yang sengaja ditanam ini maka para petani dimudahkan dengan cukup melihat fenomena kondisi yang terjadi pada pohon Randualas tersebut untuk kemudian digunakan sebagai patokan dalam mengelola lahan pertanian. Sebagaimana dituturkan oleh mbah Kardi (75 th) yang berkisah tentang bagaimana para sesepuh dukuh Tempel pada jaman dahulu pernah berujar "Ojo pisan pisan nandur nak godong randualas durung semuroh"(jangan sekali kali tanam bila daun Randualas belum tampak menghijau seperti daun suruh).
Namun, seiring dengan fenomena perubahan iklim (climate change) pada saat ini yang menyebabkan pakem Pranotomongso terasa jungkir balik (tidak tepat lagi) sehingga berimbas terhadap sistem ini yang mulai banyak ditinggalkan oleh petani. Demikian juga yang terjadi pada stasiun cuaca made inIndonesia ini. Kondisi inilah yang saat ini sedang dirasakan para petani disekitar stasiun cuaca made in Indonesia ini tak terkecuali oleh bu Hartini (40 th) dan pak H. Kaswoto (55 th) maupun Mbah Kardi (75 th).