Mohon tunggu...
Juliana Saragih
Juliana Saragih Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Psikolog Klinis

Belajar dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Suami dan Istri: Kepingan Puzzle yang Saling Melengkapi

21 Juli 2021   22:02 Diperbarui: 21 Juli 2021   23:35 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Aku gak ngerti lagi cara menghadapi dia, setiap hari kerjanya hanya marah dan menuntut"

"Dia selalu bilang aku susah dimengerti, padahal dia yang gak mau ngertiin aku"

"Apa gunanya menikah kalau ujung-ujungnya gak bahagia sama sekali"

"Rasanya hambar, kayak hanya menjalankan kewajiban saja. Kalau bisa cerai, udah lama aku minta cerai"

Kalimat- kalimat ini adalah sebagian dari cerita yang terdengar selama sesi konseling dengan wanita dan pria yang mencurahkan pikiran dan perasaannya tentang masalah-masalah dalam pernikahan mereka. Umumnya mereka merasa terperangkap dalam pusaran masalah di pernikahan yang dijalani. Ibarat makan buah simalakama, melanjutkan pernikahan semakin merasa tidak bahagia, memutuskan untuk bercerai juga bukan sebuah jalan keluar yang ideal.

Saat seorang pria dan wanita memutuskan untuk menikah, ternyata mereka membawa motif dan kebutuhannya masing-masing. Menurut Duvall & Miller (1985) wanita memutuskan untuk menikah umumnya demi mendapatkan rasa aman secara finansial, dukungan emosi, serta meningkatkan prestise. Sementara alasan pria menikah adalah untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang normal, memiliki rumah sendiri, dan menjadi pemimpin di dalam keluarganya sendiri. Sekalipun demikian, semua pasangan yang menikah menginginkan sebuah pernikahan yang bahagia dan langgeng hingga maut memisahkan. Lantas bagaimana bila kebahagiaan yang diidam-idamkan tidak tercapai, alih-alih yang dirasakan adalah lingkaran masalah yang tidak ada ujungnya.

Hal mendasar yang sebaiknya disadari oleh pasangan yang menikah adalah Anda menikahi pribadi yang berbeda dengan diri Anda. Bahkan Allan Pease dan istrinya Barbara Pease yang merupakan pakar dan penulis terkenal di bidang hubungan interpersonal dengan berani menyatakan bahwa "perkawinan adalah komitmen tanpa batas dengan pasangan yang tidak dikenali" (Pease & Pease, 2007).   Bukan hanya dari sisi kepribadian, bahkan minat serta pilihan posisi tempat tidur pun bisa berbeda. Perbedaan-perbedaan ini bisa menjadi kerikil-kerikil kecil yang awalnya dianggap biasa hingga menjadi luar biasa dan semakin sulit diatasi. Pada akhirnya pasangan suami dan istri merasa frustrasi karena tidak menemukan jalan keluar, apalagi bila masing-masing menginginkan pasangannya yang menyesuaikan diri dengan keinginannya. Nah, bila Anda sedang berada dalam dilema seperti ini, sepertinya 3 (tiga) tips dasar dari ruang praktik saya bisa menjadi pelajaran yang dapat dipetik manfaatnya.

Bicaralah

Komunikasi adalah cara untuk menyampaikan apa yang Anda pikirkan dan rasakan, baik secara verbal maupun non-verbal. Bila Anda tidak menyampaikan apa yang ada dalam benakmu, niscaya orang akan memahami. Saya yakin, Anda juga tidak memiliki bola kristal yang bisa membaca apa yang orang lain pikirkan dan rasakan hanya dengan mengusap atau bertanya pada bola tersebut. Saat muncul rasa ketidakpuasan terhadap pasangan, atau ada sesuatu yang menurut Anda sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukannya, maka sampaikanlah. Silahkan gunakan bahasa apapun yang bisa dipahami, selama tidak menggunakan bahasa kalbu. Percaya atau tidak percaya, kebanyakan penelitian yang berfokus untuk melihat kepuasan pernikahan menyimpulkan bahwa komunikasi adalah salah satu kunci yang menjadi rahasia suksesnya sebuah pernikahan. Bahkan Krull (2016) yang dilansir dari psychcentral.com menyatakan bahwa salah satu aspek terpenting yang ditemukan pada pernikahan yang memuaskan adalah komunikasi. Hindari menggunakan asumsi sebagai dasar untuk menghadapi pasangan Anda. Ujilah asumsi Anda dengan bertanya pada pasangan tentang sesuatu yang Anda pikirkan dan rasakan terhadap dirinya. Berbicara itu tidak sulit, yang sulit itu adalah berbicara dengan kepala yang tenang dan tidak melibatkan emosi negatif.

Belajarlah Menerima

Saat Anda memilih seorang wanita atau pria yang duduk di pelaminan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, sebenarnya Anda sudah memutuskan untuk menerimanya sebagai teman hidup dalam satu paket, kelebihan dan kelemahannya. Dalam hal ini kelebihan dari pasangan kita tentu saja bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan, lain ceritanya dengan kelemahannya. Pilahlah mana kelemahan yang memang menjadi masalah besar dan harus diperbaiki, misalnya masalah regulasi emosi. Akan tetapi ternyata ada beberapa kelemahan atau kebiasaan yang kita anggap buruk, sebenarnya hanya masalah kecil yang bisa diatasi tanpa harus melewati serangkaian adu mulut apalagi adu otot. Misalnya, sering kita dengar seorang istri merasakan kekesalan saat suaminya lagi-lagi menggantungkan pakaian kotornya di kamar mandi. Daripada mengeluarkan energi untuk marah, cara mengatasi masalah tersebut sebenarnya sangat sederhana, sesederhana mengambil pakaian kotor tersebut dan meletakkannya di keranjang cucian. Atau, bila Anda adalah seorang suami yang merasa kesal dengan kebiasaan istri yang sering lupa meletakkan barang-barang, maka bantulah ia untuk meletakkan barang pada tempatnya agar kebiasaan tersebut bisa berubah secara perlahan. Kuncinya di sini adalah, kecilkan masalah yang besar dan bukan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun