Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pedagang Keliling: Antara Getirnya Jalanan, Manisnya Rezeki, dan Pajak Kehidupan dari Buah-Buahan Segar

23 Mei 2025   10:28 Diperbarui: 23 Mei 2025   10:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarsono, penjual rujak buah sedang menanti pembeli di Cisaranten Kulon, Arcamanik, Kota Bandung, Jumat (23/5/2025). | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Tarsono, seorang pria berusia 56 tahun asal Brebes, Jawa Tengah, adalah salah satu dari banyak pejuang jalanan yang menghidupi keluarganya dari keringatnya sendiri. Setiap hari, ia berkeliling di sekitar Bandung Timur, melintasi Arcamanik dan Gede Bage, menawarkan rujak aneka buah-buahan segar kepada siapa pun yang lewat. Gerobak sederhananya menjadi saksi bisu perjuangan dan ketangguhannya menghadapi kerasnya hidup

Wawancara dengan Tarsono pada Jumat, 23 Mei 2025, di pinggiran Jalan Cisaranten Kulon, Arcamanik, membuka banyak cerita. Sudah sepuluh tahun ia melakoni profesi ini. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bertahan di tengah persaingan dan ketidakpastian cuaca. Mangga muda, jambu air, bengkuang, nanas, dan beragam buah segar lainnya tersusun rapi di gerobaknya, siap diracik menjadi seporsi rujak yang menggugah selera.

Tarsono menjelaskan bahwa penghasilannya tidak menentu. Ada hari-hari baik, ada pula hari-hari sulit. Apalagi sekarang, musim hujan seringkali menjadi kendala utama. Hujan deras bisa membuat jalanan sepi, pembeli enggan keluar, dan dagangannya pun terancam tidak laku. Namun, semua itu tidak pernah menyurutkan semangatnya.

Ia menjual seporsi rujaknya seharga Rp10.000. Angka ini mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang, namun bagi Tarsono, setiap sepuluh ribu rupiah adalah tetesan rezeki yang berarti besar untuk keluarganya di rumah. Uang itu akan digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membayar kontrakan, atau mungkin menyisihkan sedikit untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Bagi Tarsono, menjual rujak bukan hanya sekadar mencari uang. Ini adalah tentang tanggung jawab, tentang bagaimana ia harus memastikan keluarganya bisa makan dan punya tempat tinggal. "Demi menghidupi keluarga, dalam kondisi apapun yang penting sehat, diri saya tetap jualan," ujarnya dengan nada penuh ketulusan. Kalimat itu adalah cerminan dari semangat pantang menyerah yang dimilikinya.

Tubuh Tarsono mungkin sudah tidak semuda dulu. Usia 56 tahun pasti membawa banyak perubahan. Rasa lelah, pegal, dan kadang sakit, mungkin sering menghampiri. Namun, semua itu ia kesampingkan demi satu tujuan: keberlangsungan hidup keluarganya. Kakinya terus melangkah, mendorong gerobak yang berisi harapan dan doa.

Setiap buah yang ia siapkan, setiap bumbu yang ia racik, bukan hanya sekadar bahan makanan. Itu adalah hasil kerja keras, keringat yang menetes di jalanan, dan harapan yang tak pernah padam. Dari mangga yang asam hingga bengkuang yang renyah, semuanya adalah bagian dari rezeki yang ia "petik" dari kerasnya kehidupan.

Pajak kehidupan yang dimaksud bukanlah pajak yang dibayar kepada negara, melainkan "pajak" berupa pengorbanan, kesabaran, dan ketangguhan yang harus ia bayar setiap hari. Berada di bawah terik matahari, atau kehujanan di tengah jalan, semua itu adalah bagian dari "pajak" yang ia terima dengan lapang dada demi bisa menyambung hidup.

Para pedagang keliling seperti Tarsono adalah tulang punggung ekonomi informal yang seringkali luput dari perhatian. Mereka adalah motor penggerak roda perekonomian kecil, yang berjuang setiap hari dengan modal seadanya namun semangat yang luar biasa. Keberadaan mereka memberikan warna dan kehidupan tersendiri bagi jalanan kota.

Kisah Tarsono ini bukan sekadar cerita tentang seorang penjual rujak. Ini adalah cerminan dari jutaan manusia lain di luar sana yang berjuang dengan caranya sendiri. Mereka mengajarkan kita tentang arti ketekunan, kegigihan, dan pentingnya rasa syukur atas setiap rezeki yang didapat, sekecil apa pun itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun