Mohon tunggu...
jufriyanto
jufriyanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mas Juff

Tajam Berpikir Lembut Berdzikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manhaj Ahlus Sunnah Nahdlatul Ulama sebagai Kerangka Metodelogi Berpikir Bangsa Indonesia

21 Januari 2022   10:21 Diperbarui: 24 Januari 2022   06:48 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manhaj Ahlus Sunnah Nahdlatul Ulama Sebagai Kerangka Metodelogi Berpikir Bangsa Indonesia

NU (Nahdlatul Ulama) adalah organisasi massa umat Islam yang didirikan oleh sekelompok ulama terkemuka di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan Islam Tradisional, khususnya dalam kehidupan pesantren. Salah satu dasar pendiriannya adalah kekhawatiran para ulama atas datangnya era modernisme dan puritanisme di Indonesia, serta keberhasilannya menarik banyak umat Islam dari ajaran dan praktik Islam tradisional.

NU telah melewati empat periode sepanjang perjalanannya. Pertama dan terutama, sebagai Jam'iyah, atau kelompok sosial-keagamaan. Kedua, sebagai partai politik sekaligus organisasi sosial keagamaan. Ketiga,  Kembali ke khittah tahun 1926 menjadi jam'iyah diniyah. Setelah reformasi tahun 1998. dan yang terakhir adalah fase "Khittah Plus" karena NU telah kembali menjadi organisasi sosial keagamaan yang tidak membatasi kadernya untuk berkiprah dipartai politik. 

Mencermati perjalanan NU menunjukkan bahwa NU memiliki keluwesan pijakan hukum dan metodologis yang kokoh bagi umatnya dalam menghadapi setiap tantangan perubahan modernisme dan globalisasi menurut pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai doktrin atau sekaligus sebagai metode berpikir (Manhaj al-fikr). NU, sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, merupakan bagian penting dari kemajuan negara menuju masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, pemahaman tentang agama dan multiplisitasnya sangat penting untuk mendefinisikan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta untuk mengisi dan mewarnai mosaik keragaman Islam di Indonesia.

Masa depan Indonesia dengan kekayaan pluralitas dan keragaman melalui Pancasila dan UUD 1945, yang meniscayakan pembangunan masyarakat madani atau civil society. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: pertama,  persamaan di depan hukum (equality before the law/Musawah). Kedua, memahami moderasi (tawasuth). Ketiga, adanya musyawarah (Demokrasi). Keempat, ada Kebebasan (Hurriyah). Kelima, melakukan keseimbangan (Tawazun). Keenam, melindungi hak asasi manusia. Dan yang kedelapan adalah keadilan.

Tentu saja, diperlukan kesediaan NU untuk berpartisipasi dan memainkan peran strategis yang substansial dalam upaya pemberdayaan dan kemajuan hak-hak masyarakat. Karena warga NU adalah mayoritas bangsa kita, maka mereka mengemban tugas penting untuk melindungi dan memimpin bangsa ini menuju masyarakat yang berbudaya, beradab, moderat, toleran, dan demokratis.

Pasal 3 Anggaran Dasar NU menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah diniyah Islamiyah menganut salah satu dari empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali dan menganut aqidah Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam implementasinya, Ahlussunnah wal Jama'ah dimaknai sebagai trilogi atau al-usus al-Tsalatsah fi al-i'tiqad, yaitu tauhid mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy'ary dan Abu al-Mansur al-Maturidy. dalam fiqh setia kepada salah satu dari empat imam, madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi' Dalam hal akhlak atau tasawwuf, ikuti Imam al-Junaid al-Baghdady dan Imam Abu Hamid al-Ghazaly. Prof Said Aqil Siradj menggambarkan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manusia yang memiliki cara berpikir religius yang mencakup semua bagian kehidupan dan didirikan pada nilai-nilai, tawazun, taaddul, dan tasamuh.

Tawazun adalah berarti "keseimbangan," seperti dalam "keseimbangan antara tuntutan eksternal dan interior, material dan spiritual, kebutuhan duniawi dan ukhrawiyah." Pola pikir ini terbukti tidak hanya dalam retorika verbal, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Melihat ke masa depan dan memanfaatkan pengalaman masa lalu memberikan motivasi untuk melakukan perbaikan.

Ta'adul artinya bersikap adil terhadap seluruh komponen bangsa, khususnya oleh para penguasa atau pemimpin. Pemimpin yang adil adalah salah satu pilar keberhasilan suatu negara. Hanya penguasa yang benar yang berhak dipatuhi. Tujuan, rencana, inisiatif, dan pelaksanaannya semuanya dimulai dengan pendekatan yang adil. Islam menegaskan "janganlah rasa kebencian kalian kepada suatu golongan,  menjadikan kalian tidak berlaku adil kepada satu golongan atau kelompok." (QS. al-Maidah,  ayat 8)

Kaidah al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik sambil merangkul kebiasaan baru yang unggul) selalu menjadi landasan upaya NU dalam menghadapi modernisasi. NU menyadari bahwa perubahan dalam masyarakat tidak bisa dihindari karena kebutuhan ruang dan waktu. Karena pada intinya perubahan adalah sunnatullah. Di sinilah daya adaptasi dan reaktivitas NU terhadap perubahan menunjukkan kehebatan dan relevansinya terhadap pekembangan zaman.

Dengan ini dapat ditegaskan bahwa NU, dengan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang mengedepankan tawasuth, tawazun, dan tasamuh, akan selalu mampu merangkul setiap perubahan sejalan dengan tuntunan pembangunan untuk mewujudkan Indonesia baru yang demokratis. dan negara atau bangsa yang beradab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun