Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Ingatan, Generasi Digital : Apa yang Tersisa dari Sejarah?

24 September 2025   07:35 Diperbarui: 24 September 2025   07:35 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dulu, tahun 1965 itu masa yang mencekam. Kami bersembunyi, takut keluar rumah," cerita seorang kakek kepada cucunya. Sang cucu mengangguk sambil menjawab, "Oh iya, aku pernah lihat videonya di TikTok, yang cuma 30 detik." Percakapan ini terasa sederhana, tapi diam-diam menunjukkan jurang cara pandang antar generasi.

Bagi generasi tua, sejarah adalah ingatan yang menempel di tubuh. Mereka merasakan langsung getirnya masa krisis, represi, atau perjuangan. Setiap detail bukan sekadar data, tapi potongan hidup yang membekas.

Sementara itu, generasi muda mengenal sejarah lewat klip, meme, dan narasi singkat. Sejarah hadir dalam bentuk potongan video, infografik, bahkan lelucon visual. Di satu sisi, cara ini membuat sejarah lebih dekat, lebih ringan, dan tidak menakutkan. Tapi di sisi lain, kedalaman makna sering terpotong, bahkan hilang.

Pertanyaannya, apa yang tersimpan dan apa yang hilang?
Generasi tua menekankan pengorbanan, loyalitas, dan gotong royong. Generasi muda lebih menekankan kreativitas, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan. Kadang dua nilai ini saling bertabrakan, tapi sebenarnya bisa saling melengkapi.

Di sinilah peran guru sejarah menjadi penting. Guru bukan hanya pengajar kurikulum, melainkan jembatan yang mempertemukan dua dunia. Di satu sisi, mereka mendengar kisah panjang dari generasi tua, memahaminya dalam konteks asli. Di sisi lain, mereka menyampaikan kisah itu ke generasi digital dengan bahasa baru: lewat proyek video pendek, diskusi interaktif, atau podcast sejarah yang dibuat bersama siswa.

Guru sejarah bisa mengajarkan bahwa di balik meme ada makna, di balik klip singkat ada cerita panjang. Mereka bisa mengajak murid mewawancarai kakek-nenek, lalu menjadikan hasilnya konten digital yang menarik. Dengan begitu, sejarah tidak lagi berhenti di buku atau papan tulis, melainkan hidup kembali dalam percakapan lintas generasi.

Risiko memang ada: sejarah jadi dangkal, terjebak pada hiburan. Tapi peluangnya jauh lebih besar: sejarah bisa lebih membumi, lebih relevan, dan tidak ditinggalkan generasi muda.

Pada akhirnya, sejarah adalah milik semua. Generasi tua menjaga ingatan, generasi muda memberi tafsir segar, dan guru menjadi jembatan yang memastikan ingatan itu tidak putus di tengah jalan.

Pertanyaannya, apakah kita cukup puas dengan potongan video singkat, atau berani meluangkan waktu untuk mendengar kisah utuh dari mereka yang hidup di dalamnya?

Sejarah bisa menjadi bahasa berbeda antara generasi. Tapi dengan jembatan yang tepat, ia tetap menyatukan kita---bukan sekadar sebagai penonton masa lalu, melainkan sebagai pewaris yang sadar dan siap melangkah ke masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun