"Pendidikan lingkungan kita sering lebih hijau di feed Instagram daripada di lapangan. Pohon ditanam demi foto, bukan demi hidup. Di balik seremonial tanam bibit, hutan di luar pagar sekolah dan kantor pemerintahan perlahan lenyap dan kita pura-pura tidak melihat."
Di banyak sekolah dan instansi pemerintahan, pekan lingkungan hidup datang seperti acara besar tahunan. Guru atau pejabat bersiap memegang sekop, siswa atau pegawai berdiri rapi di belakang, dan fotografer sibuk mengatur angle. Bibit-bibit pohon berjejer, senyum merekah, dan caption inspiratif sudah disiapkan: "Menanam untuk masa depan bumi."
Namun, seminggu kemudian, banyak bibit mati kekeringan. Ada yang tercabut saat lahan dipakai untuk kegiatan lain. Di kantor pemerintah, pot bibit tergeletak di pojok halaman, menunggu kering bersama janji-janji penghijauan. Green education dan green policy sering berhenti di panggung simbolik, cukup untuk laporan tahunan dan publikasi media.
Seremonialisme yang Mengakar
Pendidikan lingkungan memang sudah masuk silabus. Pemerintah pun punya program "Gerakan Menanam Sejuta Pohon" atau "Penghijauan Nasional". Tapi realitanya, banyak program hanya mengutamakan momen seremoni: tanam hari ini, lupakan besok.
Anak sekolah diajari tentang paru-paru dunia, sementara izin penebangan hutan tetap diteken. Kantor pemerintahan mengajak masyarakat mengurangi plastik, tapi rapat internal masih memakai air kemasan sekali pakai. Kontradiksi ini bukan lagi rahasia, melainkan pemandangan biasa.
Kesenjangan antara Papan Tulis dan Lahan Hutan
Di dalam kelas, siswa belajar tentang pentingnya ekosistem. Di ruang rapat kementerian, presentasi tentang penghijauan berjalan lancar di layar. Tapi di lapangan, proyek jalan, tambang, dan perkebunan besar terus menggerus hutan.
Pendidikan lingkungan yang seharusnya mengubah perilaku justru sering mengajarkan seni pencitraan: bagaimana terlihat peduli tanpa repot merawat. Dan anak-anak, seperti juga publik, paham betul kemunafikan ini.
Konsistensi, Bukan Sekadar Simbol