Padahal tampangnya jujur, begitulah banyak orang mengeluh sehabis tertipu. Jangan salah, hanya orang dengan tampang inilah yang potensial jadi penipu.
Alasannya sederhana, tidak ada orang yang tertipu oleh orang yang tampangnya penipu. Itupun seandainya tampang penipu itu memang ada.
Seisi kelas tertawa, lantas mereka pun mengangguk, tanda setuju dengan pernyataan saya.
Jadi perlu diingat, tidak ada itu tampang jujur atau tampang penipu. Karena orang jujur atau penipu dapat dicermati dari prilakunya, bukan tampangnya.
Jujur, itu tidak mengenal situasi. Tidak kompromi, meski situasi menghendaki proses itu. Tetapi meski demikian, jujur harus dibarengi dengan sikap  bijak.
Kelas tambah sepi, mungkin tak paham dengan maksud pernyataan itu. Karena terlalu abstrak, apalagi bagi anak-anak milineal yang lebih cepat mengerti dengan contoh praktis. Â Sementara, dimana mereka berpijak, contah-contoh praktis itu adalah barang langka. Entah di simpan di museum mana.
Jujur bukan hasil deklarasi. Orang menyatakan diri, lantas otomatis akan melahirkan sikap demikian. Bukan! Ini adalah proses dari upaya konsisten berpegang pada nilai-nilai kehidupan. Sumbernya bisa dari banyak tempat.
Lantas, jika jujur dan memikirkannya adalah keruwetan, mengapa kita harus jujur. Bukankah, ini sama saja berarti kita gagal beradaptasi dengan lingkungan. Mengasingkan diri dari kenyataan?
Tap! Pertanyaan dan pernyataan  itu seketika menghentikan laju pikiran saya. Menahannya perlahan dan menghela nafas, lelah!
Jujur, itu ternyata adalah perjuangan. Menentang keadaan, bukan tidak mungkin juga akan banyak memerlukan pengorbanan. Masih berani? Bukan hanya anak-anak di kelas yang terdiam, saya juga tidak lagi melanjutkan penjelasan. Senyap!