Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inovasi Jangan Pernah Lupakan Esensi

22 November 2017   19:45 Diperbarui: 22 November 2017   20:08 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdiri di Transjakarta menuju tempat kerja, membuat saya bebas memandang keluar. Mata ini tertuju pada bangunan yang beberapa waktu lalu masih menjadi tempat yang cukup ramai. Ada gerai Seven Eleven dan baliho Fuji Film menempel di dinding gedung. Kini, baliho itu tidak lagi terpasang. Gerai Seven Eleven juga tinggal kenangan. Keduanya pernah menjadi symbol kejayaan. Banyak tafsir atas apa yang terjadi.

Saya banyak membaca dan mendengar bahwa Fuji Film tertinggal dalam urusan inovasi. Terlalu percaya diri pada apa yang telah dimiliki. Pasar dinamis, trend bergerak. Ketika tersadar, sudah jauh tertinggal. Kompetitor telah lebih dulu berhasil menawarkan alternative yang dicari pasar. Akhirnya, Fuji Film pun mencari peruntungan lain, sambil menunggu momentum berikutnya. Ia masih lebih beruntung ketimbang sejawatnya, Kodak.  Saya tidak terlalu mengerti apa yang terjadi dengan Seven Eleven, sebab sepengetahuan saya, gerai mereka tidak pernah sepi pengunjung.

Saya ini guru sejarah, tidak terlalu memahami seluk beluk kajian ilmu ekonomi. Tetapi sejarah itu bicara perubahan, serta kecenderungan manusia dalam melahirkan perubahan itu. Jadi sedikit banyak masih bisalah dihubungkan dengan fenomena yang terjadi itu. Apalagi belakangan, lagi musim pelaku ritel menutup gerainya. 

Mulai dari Lotus, Dabenhams, hingga gerai Matahari di Pasaraya Grande. Sebagian menafsirkan dan menghubungkan ini dengan menurunnya daya beli, sebagian lain menafsirkannya dengan perubahan pola  konsumsi. Data statistic bisa digunakan untuk menafsirkan, hasilnya bisa lebih akurat. Poin saya bukan pada soal itu, tetapi realitas bahwa selalu terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang menyatakan bahwa, tidak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.

Sebagai orang yang hidup di zaman ini, anak-anak bilang zaman now,  tentu kita juga pernah mendengar istilah zaman modern, post modern dan entah apalagi. Bahkan kita masih dengan bangganya suka bilang jadoel atau kuno bagi mereka yang tidak bisa mengikuti cara kita berekspresi. Macam-macamlah. Inovasi tidak melulu menjadi milik para produsen, tetapi individu juga mesti mawas diri agar bisa eksis. Meng-up grade diri dengan beragam ekspresi yang dilahirkan oleh era yang terus berubah. Pertanyaannya sampai kapan Anda mampu mengikuti jiwa zaman yang sangat dinamis ini?

Keingintahuan manusia, berhasil melahirkan bentuk-bentuk baru dalam rangka memenuhi kebutuhan. Sehingga setiap era, bentuk pemenuhan kebutuhan manusia itu selalu berbeda. Sepertinya semuanya berubah. Padahal tidak demikian. Selalu ada yang ajeg (konstan) dari setiap perubahan yang terjadi.

Perubahan melahirkan banyak jebakan, sehingga ada yang merasa diri dapat selalu mengikuti perubahan. Kata mengikuti bagi saya cukup menjelaskan, bahwa posisinya selalu berada di belakang perubahan. Pada konteks ini sampai kapanpun akan selalu dikendalikan perubahan. Sehingga kata yang pas adalah apabila kita dapat mengendalikan perubahan. Kenapa, karena yang dipegang adalah esensi dari perubahan yang berperan sebagai kendali. Bukan sekedar bentuk, yang setiap saat bisa berubah. Persoalannya, bagaimana mengenali esensi atau bentuk dari perubahan itu?

Banyak yang bilang bahwa zaman telah berubah, apanya yang berubah? Semua dari kita masih melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sejengkal perut. Sesuatu yang manusia primitive pun melakukannya.  Hanya caranya yang beda. Tetapi esensinya sama. Anda boleh menambah kebutuhan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak mungkin meninggalkan esensi dasar itu. 

Sehingga sehebat apapun perubahan itu terjadi, esensi tidak akan pernah menghilang dari peradaban manusia. Sehingga inovasi pun sesungguhnya berkutat hanya pada persoalan-persoalan itu saja. Manusia dapat saja memegahkan diri ketika berhadapan dengan perubahan, yaitu pada saat dia dapat memegang esensi dan bukan sekedar dapat memegang bentuknya saja.

Salam ngelanturuntuk tulisan ke 100!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun