Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagia Itu Sederhana: Tertawa di Rumah Kami Sendiri

4 Oktober 2017   22:50 Diperbarui: 4 Oktober 2017   23:10 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah seorang kawan mengurungkan niatnya untuk membeli sebuah rumah, menurutnya bebannya masih terlalu berat saat ini. Lantas dia berpandangan, akan lebih ringan jika dia membelinya tahun depan, setidaknya jumlah tabungannya sudah lebih besar dari saat ini. Saya maklum karena posisi kami sama-sama pegawai yang berpenghasilan pas-pasan. 

Karena saat itu niat kami ingin sama-sama mencari rumah, ciut juga nyali saya mendengar keputusan teman itu. Namun istri terus mendorong, sebab dia ingin saat bayi pertama kami lahir, kami sudah menempati rumah kami sendiri. Padahal di sisi yang lain, saya perlu juga mempersiapkan biaya kelahiran dan merawat bayi kami nantinya.

Diantara dorongan dan kekuatiran, saya berusaha membangun optimisme. Saya percaya, tiap anak pasti membawa rejekinya sendiri. Meski bayang-bayang kekuatiran masih cukup menghantui, saya tetap memberanikan diri mendatangi pameran-pameran perumahan. Mengambil berlembar-lembar brosur, yang belakangan mulai nyampah di kontrakan. Meski agak malu, saya memberanikan diri untuk menggali sebanyak mungkin informasi pembiayaan dari mbak-mbak Castomer Service bank yang cantik-cantik dan menyenangkan dalam memberi penjelasan. Setidaknya itu membuat rasa percaya diri saya terbangun, mengingat isi tabungan tidak cukup mampu membuat saya punya rasa percaya diri itu.

Ternyata, mimpi punya rumah dan mewujudkannya itu tidak terlalu menakutkan seperti bayangan horror yang teman saya bayangkan sebelumnya. Menurut saya, punya rumah tidak melulu soal uang tetapi juga keberanian, tentu dengan kalkulasi yang tidak boleh asal-asalan juga. Ada begitu banyak produk bank yang terkait dengan pembiayaan pembelian rumah. Bunga dan jangka waktu pembayarannya pun beragam. Ini memudahkan bagi orang-orang seperti saya dalam menentukan pilihan. Pokoknya pilihan yang 'gue banget lah'.

Awalnya saya mengira mengurus Kredit Perumahan Rakyat (KPR) itu njelimet,terutama bagi orang-orang seperti saya yang jumlah isi rekeningnya jauh panggang dari api,  jika dibandingkan dengan harga rumah yang ada di pasaran. Sehingga saya meyakini, akan terdiskriminasi dengan sendirinya. Ternyata, prasangka saya terlalu berlebihan. Mengurus KPR itu menyenangkan, hati saya jadi berbunga-bunga setiap kali menemui pegawai bank yang mengurusi berkas-berkas saya. Karena bayangan rumah idaman itu segera nyangkut di kepala.

Pilihan saya dan istri memang bukan pada rumah baru. Rumah lama,tetapi menurut saya dan istri dari berbagai sudut pandang boleh di bilang sesuai dengan angan-angan. Kokoh, akses mudah, bisa langsung ditempati dan tidak terlalu jauh dari rumah mertua. Poin terakhir ini merupakan saran dari mereka, mengingat usia mereka yang mulai membutuhkan banyak perhatian. 

Di samping itu kami juga sebenarnya membutuhkan banyak dukungan, maklum New comer dalam dunia 'perumahtanggaan'. KPR take over, begitu pegawai bank memberi kami penjelasan tentang pilihan pembiayaan yang bisa kami pilih. Jangka waktunya pun bisa kami sesuaikan dengan kemampuan anggaran kami. Dari berbagai alternative jangka waktu yang ditentukan, saya akhirnya memilih pembiayaan dengan jangka waktu 15 tahun. Pas banget di kantong!

Sederhana, saya mencari rumah yang diinginkan, begitu nemu tinggal bilang; 'saya pengin rumah itu!'. Urus berkas, bayar uang muka sesuai ketentuan dan juga menyesuaikan kemampuan, tunggu di approve. Tidak begitu lama, akhirnya rumah idaman itu benar-benar menjadi milik kami. Dari 15 tahun yang kami rencanakan, entah bagaimana kami melaluinya, kini ternyata sudah memasuki tahun ke 11. 

Saya sangat bersyukur, KPR membantu saya dan istri dapat menikmati kehidupan rumah tangga di rumah kami sendiri. Coba seandainya sebelas tahun lalu saya tidak mengambil keputusan penting itu. Mungkin ketakutan saya untuk mengambil brosur rumah semakin menjadi-jadi. Karena ternyata, akumulasi tabungan saya setiap tahunnya tidak berbanding lurus dengan harga rumah dan kenaikannya setiap tahunnya. Semakin melebar jaraknya, tampak jelas gap-nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun