Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK beberapa waktu lalu. Dengan penangkapan itu diharapkan KPK bisa membuka dugaan korupsi Nurhadi yang diduga mencapai miliaran rupiah.
Terungkap, dugaan aset seorang Nurhadi yang disampaikan oleh Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar yang meminta KPK segera menyita aset milik Nurhadi dan mengembangkan penyidikan ke dugaan pencucian uang.
Dilansir dari Tempo.co, 5/6/2020, Haris mengatakan memperoleh informasi bahwa Nurhadi memiliki aset bernilai fantastis. Diantaranya, kata dia, tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, empat lahan usaha kelapa sawit, delapan badan hukum dalam berbagai jenis baik PT hingga UD, 12 mobil mewah dengan harga puluhan miliar rupiah dan 12 jam tangan mewah dengan nilai puluhan miliar rupiah.
Disita atau dibiarkan?
Atas dugaan itu, apakah KPK harus membiarkan dugaan aset fantastis itu atau menyita dan mengembalikan kepada negara?.
Sudah pasti, demi penegakan hukum dan keadilan maka aset itu harus disita sesuai prosedur hukum yang ada. Atau menunggu proses hukum persidangan sampai vonis dan berkekuatan hukum tetap.
Namun, KPK harus menindaklanjuti dulu dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Nurhadi dan nanti mencantumkan dalam daftar berkas perkara agar jelas apa-apa saja uang hasil korupsi dan TPPU seorang Nurhadi.
Itu penting sebagai bentuk kepastian hukum dan menciptakan keadilan. KPK tentu sudah mengetahui prosedur dan teknik pengungkapan TPPU tersebut. Namun, kita dorong terus agar lebih luas, teliti dan tidak terburu-buru mengungkap kejahatan korupsi oleh seorang Nurhadi.
Apa yang dia rampas itu adalah bagian dari hak masyarakat Indonesia. Apa yang dikorupsi oleh Nurhadi bisa digunakan untuk pembangunan negara dan sumber daya manusia.
Bayangkan saja, andai dugaan ratusan miliaran itu terungkap, bukankah akan sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia?. Tentu sangat bermanfaat.
Apalagi, sekarang kita sedang berada dalam situasi sulit. Banyak anggaran untuk pembangunan dialihkan ke penanganan Covid-19.