Mohon tunggu...
Jovita Vania Suhianto
Jovita Vania Suhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa Akuntansi semester 5 di Soegijapranata Catholic University

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Sukses atau Stres? Membedah Mitos Hustle Culture di Dunia Kerja Modern

3 Oktober 2025   17:22 Diperbarui: 3 Oktober 2025   17:22 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Coba Anda buka aplikasi media sosial Anda, dan dalam hitungan detik Anda mungkin akan disuguhi video seorang 'motivator' yang bangga hanya tidur empat jam sehari, diiringi tagar #Grinding dan #NoDaysOff. Fenomena yang dikenal sebagai hustle culture ini menjamur, terutama di kalangan generasi muda yang sedang merintis jalan. Didorong oleh persaingan kerja yang semakin ketat dan iming-iming kesuksesan finansial di usia muda, maraknya kerja rodi modern ini seolah menjadi satu-satunya resep untuk berhasil. Namun, di balik citranya yang penuh semangat, ada harga mahal yang seringkali tidak terlihat. Di balik ramainya kesuksesan instan, hustle culture sebenarnya adalah jebakan berbahaya yang mengorbankan kesehatan mental dan keseimbangan hidup generasi muda demi produktivitas semu. Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang makna 'sukses' yang lebih manusiawi.

Ironisnya, obsesi terhadap jam kerja panjang yang didewakan oleh hustle culture seringkali tidak berbanding lurus dengan peningkatan hasil kerja yang berkualitas. Budaya ini menjebak para penganutnya dalam sebuah "teater produktivitas", di mana tampil sibuk dan selalu online dianggap lebih berharga daripada hasil kerja yang efektif dan efisien. Secara ilmiah, fenomena ini dikenal dengan konsep diminishing returns atau penurunan hasil marjinal. Bekerja melewati batas optimal justru akan menurunkan tingkat konsentrasi, memperlambat kemampuan mengambil keputusan, dan meningkatkan probabilitas kesalahan. Bagi seorang calon akuntan, satu kesalahan kecil akibat kelelahan dapat berakibat fatal. Pada dasarnya, manusia bukanlah mesin yang harus memaksakan diri untuk terus "tancap gas" tanpa istirahat sama seperti mengendarai mobil tanpa pernah berhenti mengisi bahan bakar. Oleh karena itu, kuantitas jam kerja yang diagungkan hustle culture hanyalah sebuah ilusi yang menutupi inefisiensi, dan ilusi ini dibayar dengan biaya yang jauh lebih nyata yaitu kesehatan.

Biaya nyata inilah yang menjadi sisi tergelap dari hustle culture, di mana ambisi dibayar dengan kesejahteraan jiwa dan raga. Tekanan konstan untuk selalu produktif, ketakutan akan ‘tertinggal’ (Fear of Missing Out atau FOMO), serta kaburnya batasan antara waktu kerja dan pribadi menciptakan sebuah "badai sempurna" bagi kesehatan mental. Kondisi ini terbukti memicu tingkat stres kronis, kecemasan (anxiety), dan depresi di kalangan pekerja muda. Dampaknya begitu serius hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengakui burnout atau kelelahan kerja sebagai sebuah sindrom medis akibat stres di tempat kerja yang tidak berhasil dikelola. Lebih jauh lagi, kesehatan mental yang terganggu tak terpisahkan dari fisik, sehingga jam tidur yang dikorbankan, pola makan berantakan, dan minimnya aktivitas fisik secara perlahan menggerogoti daya tahan tubuh. Pada titik ini, kita harus bertanya: apakah 'kesuksesan' yang diraih dengan mengorbankan fondasi utama kehidupan, yaitu kesehatan, benar-benar sebuah kemenangan? Inilah yang membedakan antara ambisi yang sehat dan obsesi yang merusak.

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan kerja keras dan ambisi. Keduanya adalah bahan bakar esensial untuk mencapai cita-cita dan membangun karier yang gemilang. Sejarah pun dipenuhi oleh kisah sukses yang lahir dari dedikasi dan kegigihan. Namun, hustle culture telah membajak dan meracuni konsep kerja keras yang sehat ini, mengubahnya menjadi sebuah obsesi semata. Kerja keras yang sehat berfokus pada tujuan, disiplin, dan efisiensi, sementara hustle culture justru mengagungkan kelelahan sebagai lencana kehormatan dan menuntut pengorbanan total atas kehidupan di luar pekerjaan. Inilah mengapa narasi yang lebih mendesak untuk digalakkan saat ini adalah "bekerja cerdas" (work smart), bukan sekadar "bekerja keras" (work hard). Bekerja cerdas berarti memahami prioritas, mengelola energi dan tahu kapan harus menarik garis batas untuk beristirahat dan memulihkan diri. Pada akhirnya, kesuksesan yang berkelanjutan tidak dibangun di atas puing-puing kelelahan, melainkan di atas fondasi kerja yang strategis dan kehidupan yang seimbang.

Jelas sudah bahwa hustle culture, dengan segala pesonanya yang menjanjikan jalan pintas menuju puncak, adalah sebuah narasi yang usang dan berbahaya. Ia menukar kesehatan dengan ilusi produktivitas dan meracuni makna kerja keras menjadi sebuah kompetisi untuk melihat siapa yang paling lelah. Untuk itu, perlawanan harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita, sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja, harus berani menolak tekanan untuk selalu "on", merayakan istirahat sebagai bagian esensial dari produktivitas, dan yang terpenting, mendefinisikan kesuksesan menurut standar kita sendiri, bukan standar yang didiktekan oleh media sosial. Perubahan ini juga menuntut peran aktif dari para pemimpin dan perusahaan untuk membangun lingkungan kerja yang lebih manusiawi yang menghargai hasil, bukan sekadar "jam tayang". Pada akhirnya, warisan terbaik bukanlah daftar pencapaian yang diraih dengan tubuh yang lelah dan jiwa yang kosong, melainkan kehidupan yang dijalani dengan seimbang, penuh makna, dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun