Perubahan dalam organisasi bukan sekedar soal strategi; itu adalah tentang manusia, komunikasi, dan budaya yang tumbuh bersama waktu. Hal ini sangat saya rasakan dalam perjalanan saya sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum di John Paul's Primary School, sebuah institusi pendidikan yang menawarkan dua kurikulum berjalan bersamaan yaitu kurikulum nasional yang lebih dikenal dengan nama kurikulum merdeka dan kurikulum internasional yang memakai kurikulum Cambridge. Ketika menyatukan dua pendekatan pendidikan yang berbeda tentu membawa tantangan tersendiri, terutama saat harus mengelola perubahan di tengah ekspektasi orang tua, dinamika guru, dan kebutuhan siswa yang terus berkembang.Â
Dalam upaya memahami bagaimana perubahan dapat dijalankan dengan lebih efektif, saya mendalami sebuah penelitian dari Appelbaum et al. (2017) yang mengupas tuntas faktor-faktor penentu keberhasilan perubahan organisasi melalui studi kasus. Penelitian ini menyoroti pentingnya kepemimpinan transformasional, komunikasi yang terbuka, budaya organisasi yang mendukung, serta sistem yang adaptif sebagai elemen penting dalam menciptakan perubahan yang baik. Temuan-temuan ini sangat relevan dengan konteks pekerjaan saya dan bahkan menjadi fondasi dalam menciptakan sistem manajemen informasi baru di sekolah kami.
Salah satu langkah nyata yang saya ambil adalah membangun sistem agenda berbasis daring yang terintegrasi dengan platform internal sekolah, yang lebih dikenal dengan nama SISTER. Latar belakang dari inovasi ini sederhana namun fundamental, yaitu kurangnya sistem komunikasi yang terorganisir antara guru, siswa, dan orang tua mengenai tugas, proyek, maupun ulangan harian. Sebelumnya, semua informasi ini disampaikan melalui catatan tulisan tangan atau pesan di grup WhatsApp kelas yang tidak hanya merepotkan tetapi juga sering menimbulkan kesalahpahaman.
Melalui sistem agenda digital yang kami kembangkan, guru dapat menginput rencana tugas dan evaluasi siswa secara langsung pada kalender yang tersedia di portal SISTER. Setiap entri dilengkapi dengan batas waktu pengumpulan, tanggal pelaksanaan serta materi ujian yang jelas. Sistem ini tidak hanya meningkatkan transparansi kepada orang tua, tetapi juga mendorong guru untuk melakukan perencanaan pembelajaran yang lebih terstruktur. Di sisi lain, ini menjadi alat monitoring yang efisien bagi manajemen sekolah dalam mengevaluasi kinerja guru secara berkala, tanpa harus mengintervensi secara langsung.Â
Lebih dari sekedar solusi teknis, inisiatif ini mencerminkan pentingnya komunikasi formal dan informal dalam proses perubahan, seperti yang ditegaskan dalam penelitian Appelbaum. Guru tidak hanya diminta untuk mengikuti sistem, tetapi juga dilibatkan sejak awal melalui diskusi terbuka dan sesi pelatihan yang bersifat suportif. Saya belajar bahwa resistensi terhadap perubahan sering kali bukan karena penolakan terhadap ide baru, melainkan karena ketidaksiapan dalam memahami tujuan perubahan tersebut.Â
Dalam proses ini, saya berusaha mengambil peran sebagai pemimpin transformasional yang bukan hanya menyampaikan visi, tetapi juga hadir dalam prosesnya, seperti mendengarkan, membimbing, dan memberi contoh. Kepemimpinan semacam ini terbukti mampu membangun kepercayaan dan menginspirasi keterlibatan dari seluruh elemen sekolah, terutama saat berhadapan dengan kebijakan baru atau penerapan teknologi dalam pembelajaran.Â
Budaya kolaborasi juga menjadi aspek penting yang saya dorong. Saya percaya, sekolah yang sukses mengelola perubahan adalah sekolah yang membuka ruang bagi guru untuk bertumbuh dan berkontribusi. Ketika para guru merasa didengar dan diberdayakan, mereka tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan, tetapi juga mitra dalam membangun sistem pendidikan yang lebih baik. Hal ini terlihat saat beberapa guru justru memberikan masukan teknis untuk pengembangan sistem agenda digital, yang pada akhirnya membuat sistem tersebut lebih relevan dengan kebutuhan mereka.
Tentu, keberhasilan perubahan tidak bisa lepas dari sistem organisasi yang adaptif. John Paul's School harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman-baik dalam pendekatan pembelajaran, pemanfaatan teknologi, maupun dalam struktur organisasi yang mendukung kerja tim. Adaptabilitas ini memungkinkan kami bergerak cepat dalam merespon kebutuhan belajar siswa dan ekspektasi orang tua, apalagi di masa di mana digitalisasi menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan.
Sebagai refleksi, saya juga menelaah model manajemen perubahan yang diusulkan John Kotter, yang relevan untuk memperkuat langkah-langkah strategis dalam perubahan ini. Dalam konteks sekolah kami, menciptakan rasa urgensi terjadi saat kami menyampaikan pentingnya sistem komunikasi yang efisien untuk menunjang keberhasilan siswa. Pembentukan tim penggerak perubahan kami lakukan dengan melibatkan beberapa guru senior dan staf IT. Visi perubahan pun kami komunikasikan secara jelas dalam setiap pertemuan staf, disertai pelatihan dan evaluasi berkelanjutan.
Dengan semua langkah ini, saya yakin bahwa perubahan yang bermakna bukan hanya tentang mengubah sistem atau prosedur, tetapi tentang membangun kesadaran bersama dan budaya yang mendukung. Inilah yang saya upayakan di John Paul's Primary School- menjadikan setiap kebijakan dan inovasi sebagai bagian dari proses pertumbuhan kolektif, bukan sekedar instruksi dari atas.
Penelitian Appelbaum menjadi sumber inspirasi, namun implementasinya menjadi bukti nyata bahwa teori akan bermakna hanya jika diterjemahkan ke dalam konteks dan kebutuhan organisasi. Dalam dunia pendidikan, keberhasilan perubahan sangat bergantung pada kemampuan kita membangun komunikasi yang tulus, kepemimpinan yang berempati, dan budaya yang memberi ruang bagi kolaborasi dan kreativitas. Â