Ketika pemimpin gagal menepati sumpah, keputusan tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan kegelisahan massal menjadi narasi dominan --- negara akan terkurung dalam rantai ketidakpercayaan.Â
F. Rahardi dengan luwes mengangkat fenomena yang tampak kecil --- ulat bulu --- menjadi cermin besar: bagaimana kepanikan, kurangnya literasi lingkungan, dan komunikasi publik yang buruk bisa memperburuk masalah sederhana menjadi ketakutan kolektif. Narasinya tidak menggurui; ia memberi contoh lapangan, mengajak pembaca menengok kembali bagaimana masyarakat merespons ancaman ekologis, dan pada saat yang sama menodong soal ketidaksiapan negara dalam memberi edukasi yang menenteramkan. Hasilnya: sebuah pengamatan alami yang menjadi kritik sosial tajam tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan. (1)
Gaya penulisan Rahardi menarik karena seimbang antara observasi lapangan dan refleksi normatif: pembaca diajak memahami fakta (apa yang terjadi pada ekosistem), merasakan (kecemasan yang menjalar), lalu berpikir (siapa yang bertanggung jawab mengedukasi publik?). Itu kekuatan esai populer yang baik---menghubungkan mikro dan makro tanpa memaksa pembaca menerima satu kebenaran mutlak. Namun agar lebih meyakinkan bagi pembuat kebijakan, artikel itu bisa memperkaya argumennya dengan data ilmiah atau kutipan ahli entomologi untuk mendinginkan ruang diskusi dari spekulasi.
Ulasan atas tulisan ini berujung pada rekomendasi praktis: jangan biarkan panik menentukan kebijakan. Perbaiki komunikasi publik, libatkan ahli saat menenagai wacana publik, dan dorong pendidikan lingkungan yang konkret di tingkat sekolah dan komunitas. Dengan begitu, fenomena ulat bulu tetap menjadi masalah teknis yang bisa ditangani --- bukan bahan bakar bagi fobia massa yang merusak kepercayaan sosial.
Beranjak dari persoalan psikologi publik dan literasi lingkungan yang diungkap Rahardi, kita memasuki ranah tata kelola ruang publik yang tampak teknis namun menyimpan implikasi politik besar.
Editorial Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal menumpuk bukti bahwa masalah tata-ruang dan penegakan hukum seringkali tidak berdiri sendiri---mereka terjalin dengan kepentingan bisnis, lemahnya pengawasan, dan celah administrasi. Editorial ini menarik karena mengubah soal teknis (pemasangan patok bambu) menjadi soal prinsip: siapa yang berhak mengatur ruang publik dan bagaimana negara menunjukkan keberpihakan pada hukum, bukan pada kelompok berkepentingan. (2)
Nada editorialnya tegas, berorientasi pada akuntabilitas: memanggil presiden dan aparat penegak hukum untuk tidak menunda penyidikan dan menuntut keterbukaan. Itu penting, karena politik tanda-tangan dan proses yang berbelit seringkali memberi waktu bagi aktor-aktor yang terlibat untuk menutupi jejak. Editorial seperti ini berfungsi sebagai korektor sosial---menuntut agar negara tidak kalah oleh rutinitas birokrasi dan kepentingan korporasi.
Saran praktis yang muncul dari pembacaan editorial adalah tindakan konkrit: audit lingkungan dan tata ruang independen, akses dokumen publik yang dibuka, perlindungan saksi, dan sanksi administratif yang tegas sambil menjaga proses hukum berjalan adil. Transisi dari analisis kasus ini mengantar kita pada pertanyaan etis yang lebih luas tentang integritas pejabat.
Kolom tentang sumpah dan etika yang menjadi teks mati menyorot krisis legitimasi moral elite: ketika sumpah jabatan dan norma etika hanya menjadi ritual formal, maka mekanisme hukum pun kehilangan daya moral yang menyertai penegakan. Penulis mengingatkan bahwa institusi formal tanpa kultur etika akan mudah retak saat diuji kepentingan politik. (3)
Pendekatan historis-reflektif yang dipakai efektif: dengan membangkitkan memori Reformasi dan Sidang Istimewa MPR, pembaca diingatkan bahwa kita pernah punya harapan struktural untuk membenahi tata kelola. Kini, tantangannya adalah bagaimana menghidupkan kembali ruh itu---bukan sekadar menuliskannya lagi dalam undang-undang, melainkan menanamkannya dalam praktik keseharian birokrasi dan politik.