Ilustrasi Gambar : www.hipwee.com
Tidak terasa, hari raya Idul Fitri sudah di depan mata. Setelah 1 bulan penuh berpuasa, umat islam di seluruh dunia akan merayakan hari kemenangan, tak terkecuali muslim di Indonesia.
Tetapi lebaran kali ini akan menjadi lebaran yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Lebaran yang identik dengan mudik & silaturahmi, kini harus dirayakan dengan jaga jarak dan di rumah saja. Kehangatan yang biasanya terasa di momentum hari raya, kini harus diganti dengan silaturahmi online.
Saya adalah seorang kristen yang turut menantikan hari raya Idul Fitri. Berlebaran di kota kecil tempat kelahiran saya Selatpanjang, adalah suasana yang sangat saya nantikan. Suasana yang tak lagi saya rasakan sejak tinggal dan menetap di kota Pekanbaru.
Ada 4 hal yang sangat membekas saat ikut merayakan lebaran di kota kelahiran.
#1 Jalan-jalan saat malam 'Pitu Likur'
Malam 'Pitu Likur' berarti malam ke dua puluh tujuh di bulan puasa. Karena sebagian besar tetangga bersuku jawa, istilah 'pitu likur' ini lebih familiar bagi saya.
Sebelum malam 'pitu likur' tiba, para pemuda menghimpun dana dari masyarakat untuk membuat miniatur mesjid atau gapura di persimpangan jalan. Bahan dasarnya adalah kayu broti, papan triplek, cat, kertas minyak berwarna-warni, lampu hias dan "uplik'.
'Uplik' adalah sejenis lampu colok yang dibuat dari kaleng atau botol bekas. Jauh hari sebelum malam 'pitu likur' tiba, para pemuda telah mengumpulkan kaleng dan botol bekas untuk dibuat 'uplik'. Tak hanya para pemuda, anak-anak dari setiap rumah pun turut membuat 'uplik' untuk dipasang di depan rumah sebagai penerang jalan, termasuk saya.
Saat malam 'pitu likur' tiba, jalanan menjadi sangat ramai, terang dan indah karena tampilan miniatur di persimpangan jalan. Semua warga akan keluar rumah menikmati keindahan malam 'pitu likur' ini. Saya dan keluarga pun tak ketinggalan meramaikan suasana malam.