Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Perang Segitiga Pertama di Indonesia

7 Januari 2019   17:36 Diperbarui: 7 Januari 2019   17:52 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Soekarno, Semaun dan Kartosoewirjo adalah orang- orang yang populer di dunianya masing- masing. Mungkin tidak sedikit yang menyangka bahwa mereka dahulu pernah ngenger ( kos) di rumah Tjokroaminoto, mengingat perbedaan paham dan ideologi yang mereka anut. Soekarno adalah seorang nasionalis-sekuler yang sangat mengagumi Mustafa Kamal At Tatturk. Sementara Semaun adalah seorang komunis sejati, murid langsung dari Sneevliet, pembawa dan perintis komunisme di Indonesia. Kartosoewirjo tidak lain adalah proklamator Negara Islam Indonesia, seorang yang dianggap radikal.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, demikian nama lengkap Kartosoewirjo, yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1905 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.[1] Setelah menamatkan ELS di kotanya, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Surabaya, masuk pada Sekolah Kedokteran untuk Pribumi. Di sinilah Kartosoewirjo mulai belajar politik dan berorganisasi sebab ia tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam.

Dari murid- murid Cokroaminoto, Kartosoewirjo-lah yang paling setia mengikuti langkah sang guru. Terbukti ketika terjadi kemelut di tubuh Partai Sarekat Islam Indonesia pada tahun 1930 an dikarenakan kebijakan hijrah partai yang menyebabkan dipecatnya Dr. Soekiman Wirjosanjoyo dan kawan- kawan. Soekiman tidak setuju dengan kebijakan hijrah yang diartikan sebagai sikap non-kooperatif yang akan semakin memperburuk citra partai di depan pemerintah. Sebaliknya Kartosoewirjo sangat mendukung kebijakan hijrah ini. Seperti yang ia jelaskan dalam kongres ke-24 PSII pada tanggal 30 Juli sampai 7 Agustus 1937.

"...bahwa 'hijrah' yang jadi sikap partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non- kooperatif yang diadakan partai-partai lain terhadap pemerintah. Sikap non- kooperasi itu adalah sikap yang negatif; sikap 'hijrah' itu adalah sikap positif dan membangun. Sebab hijrah itu sesungguhnya suatu sikap penolakan akan tetapi di samping itu dijalankan usaha dengan sekuat- kuatnya untuk membentuk kekuatan hebat yang menuju kepada Darul Islam."[2] Sikap hijrah inilah yang menjadikan Kartosoewirjo tidak mau bergabung kembali ke dalam Republik Indonesia.

Proklamasi 7 Agustus 1949

Bulan Mei 1947 Belanda sudah memutuskan untuk mengkhianati persetujuan Linggarjati yang mengakui secara de facto wilayah RI atas Sumatera, jawa dan Madura dengan menyerang Republik secara langsung. Maka pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan aksi polisinil mereka yang pertama. Pasukan- pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat ( tidak termasuk Banten ) dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.[3]

Aksi polisinil Belanda dikecam oleh sekutu- sekutunya terutama Amerika dan Inggris yang segera mendesak PBB untuk menangani masalah ini. Maka pada akhir bulan Juli belanda mengumumkan suatu gencatan senjata dan menyetujui adanya sebuah perundingan antara pihak Republik dan Belanda. Dan pada bulan Januari 1948 tercapailah satu persetujuan baru di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan Jakarta. 

Persetujuan ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai garis van Mook . persetujuan ini juga menyetujui bahwa seluruh pasukan Republik harus ditarik mundur dari garis van Mook. Maka Kolonel Nasution memimpin 22.000 prajurit Siliwangi keluar dari Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju Jawa Tengah yang dikuasai Republik pada bulan Februari 1948.[4]

Mengenai persetujuan Renville ini SM Kartosoewirjo berkomentar bahwa " Amir Sjarifoedin la'natullah telah menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua sejata ke wilayah Republik supaya umat islam khususnya rakyat Jawa Barat tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda".[5]

Kekosongan kekuasaan di Jawa Barat dimanfaatkan oleh Kartosoewirjo untuk mengkonsolidasikan satuan- satuan Hizbullah dan Sabilillah untuk tidak meninggalkan Jawa Barat dan terus berjihad menghadapi Belanda. Maka pada tanggal 10- 11 Januari di desa Pangwedusan distrik Cisayong diadakan suatu konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin organisasi Islam daerah Periangan. Hadir dalam konferensi itu wakil- wakil dari Masyumi, GPII, DPOI dan MPOI. Keputusan penting dari konferensi Cisayong adalah dibentuknya suatu Tentara Islam Indonesia (TII) dan didaulatnya SM Kartosoewirjo sebagai imam.[6]

Pada tanggal 14 Desember 1948 Belanda mengadakan aksi polisinilnya yang kedua. Kota Yogyakarta dapat diduduki Belanda, Soekarno dan Moh Hatta ditangkap dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kartosoewirjo memandang bahwa rezim Republik telah berakhir dan saat yang tepatlah untuk memproklamirkan Negara Islam Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun