Mendekati Pemilu 2019 mendatang sudah berseliweran berbagai berita yang saling menjatuhkan antara pendukung capres-cawapres. Mereka saling mencela dan mencari celah untuk saling menunjukkan kelebihan calon pimpinan negeri ini.
Berita yang dishare tentunya tak semua berdasar fakta atau data yang akurat. Berita hoax istilahnya. Berita-berita seperti itu bisa jadi membuat panas hati pendukung masing- masing calon capres-cawapres. Persahabatan yang terjalin lama pun bisa hilang dalam sekejap. Saling blokir, dan memutuskan tali persaudaraan atau silaturahim di antara mereka.Â
Sungguh disayangkan. Hanya karena perpolitikan nasional akhirnya mengorbankan orang-orang yang jelas nyata di sekitar kita dan kita butuhkan setiap saat. Mereka mengagungkan calon capres-cawapres seolah merekalah yang akan membantu setiap hari dalam hidup bermasyarakat.
Sekarang yang saya ceritakan adalah sahabat masa SMA mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari sebuah partai politik. Tak usah saya sebutkan nama parpolnya. Nah di grup WA ada yang mengirimkan gambar dia dengan atribut partainya. Bagaimana mana reaksinya?
Hmmmm..
Saya melihat belum banyak teman yang berkomentar. Dalam hati saya kalau saya tak menengahi dengan kalimat yang menyejukkan maka akan panas grup alumni SMAku.
Ya... Seperti di grup lainnya pasti ada pendukung capres-cawapres no urut 1, ada juga yang pendukung capres-cawapres no 2. Entahlah. Istilahnya kalau tak salah ada kubu cebong dan kubu kampret. Ah... Sejak kapan orang Indonesia menyebut satu sama lain dengan sebutan hina seperti itu. Hmmmm. Gara-gara perpolitikan nasional.
Ketimbang ada perseteruan pendapat di grup yang bisa menyebabkan anggota left dari grup maka saya memberanikan berkomentar. Maklum biasanya saya pasif, karena kurang PD. Melihat profesi teman yang cukup mentereng, ada yang jadi dosen, ketua lapas, pengacara... Lha saya? GTY... Meski menurut orang itu juga profesi yang mulia.
Menurut saya, untuk menyikapi perbedaan pandangan politik bisa dilakukan dengan beberapa tips.
Pertama kita harus mendewasakan pola pikir kita. Berbeda sudah lumrah. Manusiawi. Yang lebih penting itu bagaimana kita bersikap terhadap perbedaan itu. Kalau di pelajaran PMP zaman dulu, guru PMP menekankan agar menganggap perbedaan sebagai suatu anugerah dan kekayaan bangsa. So tak perlu diperdebatkan. Saling menghormati satu sama lain. Bukankah orang Indonesia dikenal sebagai orang yang ramah, sopan, santun dan memegang teguh nilai ketimuran?
Kedua, tahan untuk berkomentar negatif terhadap berita yang saling menyudutkan. Kita mengetahui sesuatu bukan berarti kita bisa memaksakan orang lain bisa seperti pola pikir kita. Ingat bahwa pola pikir terbentuk dari keluarga dan lingkungan sekitarnya. Bila kita menganggap capres yang kita suka lebih baik daripada capres lawannya ya sudah, pandangan itu berlaku untuk kita. Bukan untuk orang lain.