Amerika Serikat menempatkan banyak Perguruan Tinggi (PT) pada kelompok seratus PT global berperingkat terbaik, PT dari Indonesia nihil. Bagaimana peringkat disusun saya tidak begitu paham.
Bahkan tidak terdapat PT dari Indonesia meski di kelompok 500 PT global berperingkat terbaik. Kalau dibuat kelompok 1000 PT terbaik, barulah ada satu PT dari Indonesia, di urutan 518.
Tetapi terus terang dan terang terus, salah satunya berdasarkan kegaduhan politik yang ditimbulkan pilgub DKI, saya kini malahan meragukan mutu pendidikan di luar Indonesia, terutama mutu pendidikan di Amerika Serikat ini. Kalau tentang ilmu pengetahuan tidak pantas meragukan mutu pendidikan di AS, yang saya ragukan itu adalah kemampuan PT di sana untuk memanusiakan manusia sehingga menjadi manusia yang berguna, jujur, tulus tanpa intrik, bersih dari korupsi.
Kanjeng Dimas contoh pertama, bukan tentang Kanjeng Dimas tetapi tentang seorang Doktor lulusan AS yang memberikan kepercayaan mutlak ke Kanjeng Dimas, dan seratus persen meyakini kalau Kanjeng Dimas adalah manusia dari dimensi lain, nah lho. Keyakinan Dokotor ini diperkuat dengan mengutip dalil Fisika Kuantum Partikel, bahwa pada awalnya ada sebelas dimensi. Tujuh dimensi tergulung menyisakan empat dimensi di mana kita hidup. Menurut Doktor lulusan AS ini, Kanjeng Dimas adalah manusia yang berkemampuan memasuki dimensi selain yang empat yang tersisa, luar biasa.
Buni Yani contoh kedua, doktor alumni PT di AS, tetapi dengan sangat enteng mengatakan saya tidak pakai earphone sehingga kata “pakai” tidak ditranskrip. Meski video yang diunggahnya berdampak kegaduhan politik, bahkan Buni Yani justru merasa dizolimi.
Sungai-sungai di Jakarta bersih karena Foke, kalimat itu juga diungkapkan seorang doktor lulusan PT di AS. Ketika Doktor lulusan AS ini menjadi menteri, peringkat mutu pendidikan Indonesia malahan makin terpuruk. Gagasan Doktor lulusan AS ini selama menjadi menteri rada-rada aneh. Membentuk direktorat ke ayah-bundaan, gagasan mengantar anak hari pertama sekolah, dan UN on-line. Gagasan itu bukannya tidak baik, tetapi masak sih seorang menteri hanya menggagas hal-hal remeh seperti di atas? bukankah jabatan sekelas menteri seharusnya memikirkan kebijakan yang menjadi blue print pendidikan?
Kemaren seorang Doktor lain yang juga lulusan PT di AS mengatakan jika Ahok tidak ditangkap dan dipenjarakan maka NKRI terancam bubar. Teman saya yang lulusan SMA saja bingung mendengar kalimat Doktor lulusan AS ini. Bagaimana ini bang, kan Ahok belum jadi terdakwa dan belum ada putusan pengadilan yang menetapkan Ahok bersalah, kok ya harus ditahan?. Begitu teman itu bertanya, dan saya tidak tahu jawabnya. Yang makin saya pahami, tamatan SMA di sini lebih paham tentang hukum dari Doktor lulusan PT di AS.
Cagub nomor urut-1 juga pernah kuliah di AS, tetapi tidak bisa mengerti bahwa BLT (Bantuan Langsung Tunai) tidak termasuk sebagai salah satu cara membangun manusia, tetapi BLT adalah cara membeli suara manusia. Lulusan AS ini tidak paham kalau BLT bukan pemberdayaan manusia, tetapi memperdayai manusia. Program yang ditawarkan cagub ini sebatas "bagi-bagi duit".
Kita perdalam penelitian kita tentang bagaimana mutu pendidikan di AS. Hampir semua pemegang otoritas keuangan adalah penyandang gelar Doktor dari PT di AS, toh semua mereka dengan mudah dan jitu bisa dikadali oleh seorang bankir pemilik Bank Century. Jauh sebelumnya, semua bankir-bankir yang menyandang gelar Doktor dari PT di AS dengan enteng dikadali dan ditipu seorang Edy Tansil.
Masih banyak sekali contoh yang bisa dituliskan, tetapi nanti tulisan ini menjadi kelewat panjang dan membosankan.
Lalu saya perhatikan, Pak Jokowi adalah murni hasil pendidikan dalam negeri, Ibu Susi juga begitu, Ahok juga begitu.
Untung pak Jokowi, Ibu Susi, dan Ahok tidak pernah kuliah di AS, kalau pernah ……..