Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Rasionalitas, dan Realitas

21 Maret 2017   15:31 Diperbarui: 21 Maret 2017   23:32 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak hal dalam “Kemahaan Tuhan” yang tidak rasional menurut ukuran kemampuan pikiran manusia, sejenius apapun manusia tersebut. Banyak hal dalam “Kemahaan Tuhan” yang justru bertolak-belakang dengan realitas kehidupan manusia.

Coba, bagaimana membuat sinkron “kemahakayaan Tuhan” dengan realitas “kemiskinan, kelaparan akut, dan penderitaan yang mencekam” di dunia ini? Bagaimana mensinkronkan antara “kemahapenyayangan Tuhan” dengan semua jenis-jenis perang yang membinasakan jutaan manusia yang justru tidak berkaitan dengan penyebab perang itu sendiri? bagaimana mensinkronkan  “kemahakuatan Tuhan” dengan merajalelanya kediktatoran yang menyengsarakan, dengan merajalelanya kekuasaan gelap yang menderitakan manusia? menyebarnya kecemasan dan ketakutan?

Itulah sebabnya selalu dikatakan bahwa kepercayaan membutuhkan “keimanan”. Salah satu elemen dari iman adalah meyakini hal-hal yang irasional menurut pikiran manusia, irasional karena tidak memiliki penjelasan. Begitulah, itu sebabnya mujizat tidak memerlukan penjelasan rasional.

Bahkan dalam matematika, pengetahuan yang dianggap paling rasional, ketidak rasionalan justru muncul secara alamiah. Salah satu ketidakrasionalan itu adalah tentang “ketakhinggaan” sesuatu. Karakter dari bilangan takhingga itu menabrak semua karakter bilangan lainnya. Berapapun kau tambahkan ke bilangan takhingga, atau berapapun yang kau kurangi dari bilangan takhingga, hasilnya ya tetap takhingga. Deret geometri yang rasionya kurang dari satu tetapi lebih besar dari nol, juga memiliki karakter yang unik. Meski deret itu memiliki suku yang tidak terhingga banyaknya, tetapi jumlah total keseluruhan anggota deret itu justru berhingga, tertentu hasilnya.

Ketakhinggaan juga muncul di Fisika, terutama di dalam cabang fisika yang disebut mekanika kuantum, yaitu saat melakukan integrasi terhadap suatu besaran. Ilmuwan fisika mengakali ketakhinggaan itu melalui suatu proses yang disebut normalisasi. Suatu akal-akalan matematis tetapi sangat berguna.

Jadi mari kita simpulkan bahwa ketakhinggaan, termasuk kemahaan, adalah sesuatu yang irasional. Secara pribadi, saya menempatkan “surga” sebagai sesuatu yang irasional, dan karena itu saya percayai murni dalam iman. Surga itu irasional karena saya tidak memiliki penjelasan apapun tentangnya. Satu-satunya yang bisa saya katakan tentang surga adalah “surga itu milikNya, dan hak mutlakNya”.

Dan itulah sebabnya saya memutuskan bahwa selama nyawa melekat di badan, saya ingin hidup secara penuh, tidak setengah-setengah. Saya tidak ingin hidup setengah di bumi setengah di surga. Saya tidak akan pernah bertanya bagaimana surgamu, dan tidak akan menjelaskan bagaimana surgaku.

Cermatilah sebuah orkestra, bukankah di situ orang-orang memainkan hal yang berbeda, bahkan mengacu ke partitur yang berbeda? Resultan dari perbedaan yang diharmonisasi dengan baik itu, itulah yang menghasilkan alunan orkestra yang merdu dan menggugah. Tidak ada orkestra yang dapat dihasilkan dari satu nada, tetapi perpaduan nada yang berbeda, sekali lagi nada yang berbeda, perbedaan itu keharusan, kewajiban, dan kemutlakan.

Hidup yang penuh di bumi ini, adalah orkestra kehidupan, seperti itulah cita-cita kehidupanku. Ada yang mengacu ke partitur kasih, yang lain memainkan musik kehidupan di bawah bimbingan partitur cinta, yang lain mengacu ke partitur kerelaan berkorban. Ada yang melantunkan suara musik berdasarkan partitur kejujuran, yang lainnya berpegang pada partitur kerendahan hati.

Semua partitur itu adalah rasional, dapat diwujudkan menjadi realitas. Bumi menjadi panggung orkestra adalah rasional dan dapat menjadi realitas, bumi yang menghasilkan musik merdu yang agung dan membahagiakan.

Hanya musik seperti itulah yang layak untuk memuliakan Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun