Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peradaban Toilet

22 November 2017   15:28 Diperbarui: 22 November 2017   15:36 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kertas yang dilaminating ditempel di dinding hampir semua toilet berisi kalimat : harap disiram sehabis buang air besar/buang air kecil, dilarang membuang sampah ke closet, keluar dari toilet lampu harap dimatikan. Pada awalnya saya berpikir semua kalimat itu wajar dan perlu. Tetapi ketika jongkok di toilet melaksanakn hasrat kemanusiaan paling alami dan paling purba, saya disentak oleh suatu kesadaran bahwa semua untaian kalimat itu sesungguhnya tidak wajar. Perlukah saya harus disuruh untuk menyiram toilet sehabis buang air besar?, bukankah mestinya itu hal yang wajar yang terjadi otomatis?, mengapa orang masih harus disuruh agar tidak membuang sampah ke toilet?

Duaaar.... Ledakan kesadaran menyentak jiwa bahwa inilah salah satu ciri dari ketidakberadaban itu, dan saya menjadi paham mengapa orang-orang Jepang selalu meninjau toilet terlebih dahulu.

Mendekat ke kantor suatu intansi pemerintah, terbentang melintang spanduk besar, isinya "anda memasuki wilayah bebas korupsi". Wou, keren sekali. Tetapi di dalam kantor, seseorang berseragam mendekat lalu menawarkan jasa bantuan agar urusan lebih cepat selesai dan tidak meletihkan jiwa raga. Bah. Antara spanduk di depan pintu masuk dengan keadaan di belakang pintu yang ternyata ironis, muncullah pertanyaan di benak, apa artinya wilayah bebas korupsi?, bebas dari korupsi atau bebas melakukan korupsi?. Tetapi andaikata artinya adalah bebas dari korupsi, kesimpulan lainnya adalah spanduk tidak berdaya mencegah pungli. Pertanyaan terbesar adalah, di suatu tempat yang tidak ada spanduk "anda memasuki wilayah bebas korupsi", apakah di situ orang-orang bebas melakukan korupsi?.

Lalu saya simpulkan, salah satu ciri-ciri masyarakat yang permisif terhadap pungli dan korupsi adalah banyaknya spanduk-spanduk dan jargon-jargon yang anti korupsi, atau seolah-olah anti korupsi.

Saat melintas di jalan raya tertentu, terlihat sangat banyak mobil, angkutan kota, mobil pribadi yang mewah wah, yang berhenti di sembarang tempat. Orang-orang yang naik sepeda motor zig-zag tanpa helm menerobos lalu lintas saat menyala merah, dan suara klakson menderu-deru entah untuk mengusir setan atau mengusir rasa galau. Di ujung jalan memasuki jalan protokol, barulah saya paham mengapa begitu. "Anda Memasuki Wilayah Tertib Berlalulintas", itu kalimat di baliho di pinggir jalan. Pantas, rupanya jalan raya yang baru saya lewati tidak masuk ke kategori wilayah tertib berlalulintas. Celakanya, di wilayah tertib berlalulintas itupun keadaannya tidak berbeda sama sekali dengan jalan raya sebelumnya yang tidak masuk kategori wilayah tertib berlalulintas.

Saya paham kini, bahwa jargon, spanduk, dan baliho tidak pernah bisa mengubah keadaan, tetapi bisa memberi gambaran seperti apa keadaan peradaban suatu bangsa. Jika hipotesis saya benar, maka ini sangat menyedihkan sekali.

harap disiram sehabis buang air besar/buang air kecil, dilarang membuang sampah ke closet, keluar dari toilet lampu harap dimatikan, adalah kumpulan kalimat yang diperlukan di masyarakat kurang atau tidak beradab. Celakanya, hampir di semua toilet, di kota-kota besar, kecuali jamban di pinggir kali, kalimat-kalimat di atas selalu harus ditempelkan. Orang kota yang tidak beradab.

Spanduk "anda memasuki wilayah bebas korupsi" menandakan bahwa pungli dan korupsi adalah hal biasa, tidak pungli menjadi aneh dan luar biasa. Wilayah tertib berlalulintas justru menandakan betapa acakadut, semrawut, dan semau gue kita dalam berlalulintas.

Manusia beradab, pasti tidak membuang sampah di depan rumah orang, ada atau tidak peringan. Manusia beradap pasti tidak kencing di sembarang tempat, dilarang atau tidak dilarang. Dilarang atau tidak dilarang, manusia beradap pasti tidak pungli, manusia beradap pasti tidak melanggar peraturan perlalulintasan di jalan raya.

Lalu kenapa sedih?, karena kalimat-kalimat spanduk dan baliho di atas tersebar luas di seluruh wilayah NKRI, lalau apakah kita bangsa yang ...........

Ah, sudahlah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun