Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengadopsi Hukum Pidana Islam untuk Memperkuat Hukum Pidana Indonesia, Mungkinkah?

13 Desember 2022   10:35 Diperbarui: 13 Desember 2022   10:43 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kitan Undang-Undang Hukum Pidana yang baru (sebut saja KUHP-RI), yang disahkan DPR tanggal 6 Desember 2022 yang lalu, melahirkan kontroversi di masyarakat Indonesia. Kabarnya juga menarik perhatian masyarakat dunia, sampai-sampai ada yang mengaitkan dengan pengaruh negatifnya terhadap iklim investasi di Indonesia.

Dalam KUHP-RI ini jenis delik diperluas. Yang selama ini merupakan ranah hukum adat, atau privasi yang bertentangan dengan karakter bangsa (seperti kumpul kebo), diangkat menjadi pidana. Di sinilah KUHP-RI diklaim lebih mencerminkan kepribadian Indonesia. KUP-RI juga menghidupkan kembali pasal ujaran kebencian (hatzaai artikelen), yang dulunya sudah pernah dihapus dari KUHP lama.

Hukuman pidana tentu identik dengan penjara. Dengan berlakunya KUHP-RI, makin mudahlah orang masuk penjara. Bisa dibayangkan, penjara, yang sebelumnya sudah ramai, akan semakin penuh sesak. Mau tidak mau negara harus menyediakan alokasi dana negara yang lebih besar untuk urusan pemidanaan ini. Penjara harus diperbanyak atau diperluas. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus ditambah untuk memproses. Akibatnya, uang negara makin tersedot. Padahal, dengan mengelola penjara yang ada sekarang Pemerintah sudah merasa kewalahan. Kondisinya belum 100% ideal. Masih ingat peristiwa kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang beberapa waktu lalu, yang menyebabkan 42 narapidana tewas, kebakaran di penjara Banceuy Bandung, kejahatan-kejahatan baru yang justru lahirnya di penjara (seperti peredaran narkoba, perkelahian sesama narapidana, pemalakan terhadap narapidana, dan lain sebagainya).

Berlakunya KUHP-RI kontradiktif dengan pernyataan atau wacana yang dilontarkan Menkopolhukkam, Dr. Mahfud M.D. dan Menkumham Yasonna Laoly tahun lalu, tentang perlunya pengurangan orang-orang yang "layak" masuk penjara.. Beberapa solusi seperti pecandu narkoba cukup menjalani rehabilitasi, tidak perlu dipendam di balik jeruji besi. Pencurian-pencurian kecil sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah, tanpa melalui proses hukum sehingga pelakunya tidak perlu direndam di hotel prodeo (restorative justice).

Selama ini pemerintah memilih jalur "remisi" untuk mengurangi beban "overload" penjara, yang berujung kontroversi karena remisi juga dinikmati oleh narapidana korupsi kakap.

Penjara, diperhalus dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tidak hanya difungsikan sebagai "tempat hukuman", tapi lebih difungsikan sebagai "tempat pembinaan" orang-orang yang melakukan tindak pidana. Berharap orang yang bersalah bisa bertaubat, lalu kembali ke masyarakat sebagai orang baik. Di lapas narapidana diperlakukan sebagai "santri", dibina akhlaknya, diajarkan agama, disediakan makan dan penginapan gratis, walaupun tidak berstandar hotel. Narapidana disehatkan dengan berolah raga, diberikan pencerahan rohani melalui shalat berjemaah, pengajian. Narapidana dipersiapkan untuk bisa hidup setelah keluar dari lapas dengan diajarkan berbagai keterampilan.

Beranjak dari pemikiran "memanusiakan" narapidana di lapas, lalu timbul wacana agar narapidana tidak hanya dipenuhi kebutuhan jasmani dan rohani saja, tapi juga kebutuhan biologisnya, sehingga muncul istilah "bilik asmara". Lama-lama terkesan hidup di lapas terasa enak. Akibatnya, orang tidak takut lagi masuk penjara. Malahan ada yang "kecanduan" dengan menjadi residivis. Lama-lama, korban, yang awalnya harus dilindungi oleh hukum pidana, jadi terlupakan.

Di sinilah terjadinya "lingkaran setan" (vicious circle). Perluasan kategori tindak pidana membuat penjara makin ramai, negara harus menanggung biaya, karena negara kewalahan maka penghuni penjara dikurangi dengan remisi, akibatnya orang makin tidak takut dipenjara.

Hukum Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Idealnya KUHP-RI bukan digali dari kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi harus digali dari hukum Tuhan Yang Maha Esa. Pertimbangannya, karena negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945). Indonesia mengakui kemerdekaannya diperoleh atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (aline ke-3 Pembukaan UUD 1945). Indonesia dalam upaya mencapai tujuannya berdasarkan rumusan Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Mahas Esa (Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945). Di setiap keputusan hakim, baik tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi selalu dimulai dengan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".  

Jadi wajarlah jika hukum pidana di Indonesia harus lebih mengutamakan sumber hukum Tuhan Yang Maha Esa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun