Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gurita Hoaks dalam Era Pasca Kebenaran

28 Mei 2018   12:36 Diperbarui: 30 Mei 2018   19:09 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
donyprisma.files.wordpress.com

Beberapa tahun belakangan, sangat sering kita mendapat berita ataupun berupa pernyataan yang seringnya bersifat hoax. Sejatinya, inilah salah satu ciri dari era Post-Truth yaitu lebih dahulu menyebarkan dibanding mengecek kebenaran dari suatu berita ataupun pernyataan. 

Di dalam bukunya yang berjudul The Post-Truth Era"Dishonesty and Deception in Contemporary Life", Ralph Keyes mengungkapkan bahwa di era post truth, selain benar dan salah juga terdapat pernyataan yang menimbulkan ambigu. Dalam bukunya, ia mengungkapkan bahwa ambigu  tidak dapat digolongkan sebagai pernyataan yang sepenuhnya benar namun juga tidak dapat dijatuhkan sebagai pernyataan yang sangat salah. 

Di dalam dunia modern, sangat berbeda dari era sebelumnya, membedakan kebenaran dan kebohongan layaknya sebuah tantangan dan mungkin harus menjadi sebuah kebiasaan. Titik kesulitan pembedaan keduanya terletak pada seringnya framing oleh media yang menjadikan orang yang bukan bidangnya "seakan" tahu betul bidang tersebut.

Dalam bukunya Enlightenment Now, Steve Pinker mengungkapkan untuk mencari revisi dari suatu hoax cukuplah sulit dan seringkali apa yang kita temukan belum tentu dapat membenarkan dari pernyataan berita yang telah kita peroleh karena menurut Steve, mencari kebenaran dari suatu hoax sama saja kita mencari kebenaran dari suatu dusta yang telah berlarut-larut sehingga hal ini dapat memunculkan beberapa teori pembenaran seperti teori konspirasi. Untuk itu, yang perlu dipahami untuk mendeteksi suatu hoax pertama-tama kita harus memahami makna hoax yang kita peroleh.

Dalam kesehariannya masyarakat Indonesia memang telah dipaparkan dengan berbagai kabar hoax baik berbentuk gambar, video, maupun tulisan. Indonesia dapat dikatakan sebagai pangsa pasar potensial bagi penyebaran hoax selain dikarenakan jumlah pengguna internet yang semakin bertumbuh. 

Dalam hasil survey yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) dari tiap tahun, memang tampak terjadi peningkatan. Di tahun 1999, jumlah pengguna internet hanya sebesar 1 juta pengguna sedangkan pada hasil survey di tahun 2017, jumlah pengguna internet mencapai 143,26 juta(Survey Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia oleh APJII di tahun 2017)

Menjadi sebuah ironi melihat perkembangan jumlah pengguna internet cukup pesat di Indonesia seperti data suvey APJII di tahun 2017 yang menunjukkan bahwa pengguna internet lebih banyak didominasi dari kelompok umur 13 hingga 18 tahun sebesar 75,50% sedangkan di tiap tahunnya tampak peningkatan jumlah pengguna awal internet dari sebelum tahun 2006 hanya sebesar 9,24% dan meningkat menjadi 37,12% pada periode 2014 hingga 2016(Survey Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia oleh APJII di tahun 2017). Dari hasil suvei tersebut, perlunya pendidikan dan pengarahan cara penggunaan internet sangat diperlukan terutama terkait menyebarkan informasi yang diperoleh dari internet.

Penyebaran hoax telah menggurita dan banyak terjadi di berbagai bidang. Pada bidang pangan dan nutrisi yang terkait bidang kesehatan, cukup banyak berita hoax yang telah dilemparkan di tengah masyarakat. Namun, seringkali, meskipun berita hoax tersebut tidak terbukti kebenarannya, masyarakat terlanjur memberikan stigma pada suatu makanan yang dapat merugikan perdagangan produk makanan yang bersangkutan. 

Lebih kejamnya lagi, dibalik pemberian stigma, konsumen tidak menyadari bahwa dibalik produk makanan tersebut, banyak pihak yang menggantungkan hidupnya (sebagai ladang pencarian nafkah). 

Perlu disadari, stigma di bidang pangan dan nutrisi juga efek yang kejam dari era pasca kebenaran. Terlebih lagi, stigma tersebut bisa semakin menjadi-jadi dikarenakan minat baca warga Indonesia yang rendah. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh John W Miller (Presiden Central Connecticut State University (CCSU) di tahun 2016, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Rendahnya minat baca turut memicu sentimen berlebih menyikapi suatu hoax karena masyarakat cenderung percaya tanpa memastikan informasi terlebih dahulu (sesuai prinsip era kebenaran)(Mikael Gewati, Kompas.com, 29/08/2016)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun