Menyematkan kata 'miskin'Â pada dan atau ditunjukkan kepada hal-hal yang kita banggakan memang menimbulkan reaksi yang beragam.Â
"Dasar kamu orang miskin!", Â
"Betapa miskinnya kamu sampai-sampai tidak bisa ...",Â
"Dia memang miskin dan tidak tahu malu",Â
"Dia adalah orang yang miskin ilmu",Â
"Bahasa Indonesia memang miskin dalam perbendaharaan kata/kosakatanya".Â
Beberapa contoh kalimat di atas sering kita dengar atau mungkin diutarakan kepada orang lain saat tertentu. Ada yang menanggapinya dengan santai, acuh tak acuh, marah, kesal, pun memberi reaksi beragam yang tidak terduga.Â
Konotasi kata 'miskin' bisa berarti baik dan juga tidak. Tergantung latar belakang kapan, dimana atau pada konteks apa kata itu dipakai. Serta kepada siapa kata itu diujarkan. Hal Ini membuktikan bahwa kata (baca: bahasa), seperti pisau bermata dua.Â
Demikian pun diskusi yang masih hangat belakangan ini terkait sebuah bahasa yang kita bangga-banggakan, Bahasa Indonesia. Bahasa persatuan dikatakan masih miskin, terutama dalam hal perbendaharan kosa-katanya.Â
Bagi saya, ini adalah sebuah celetukan yang berasal dari kesadaran seseorang yang memang kaya dalam memperdalam suatu bahasa dan bagaimana ia peduli akan perkembangan bahasa itu sendiri.Â
Bisa saja, salah satu hal yang melatarbelakangi dia  mengatakan itu adalah keputusasaan akan keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan tertentu akibat dari miskinnya bahasa Indonesia itu sendiri. Pendapatnya tentu beralasan. Akibatnya, kita kemudian tergugah untuk memberi tanggapan atas pernyataan ini. Berbagai ulasan dengan sudut pandangnya masing-masing sampai pada kesimpulan yang bervariatif. Â