Mohon tunggu...
Joko Supeno
Joko Supeno Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilih-pilih Tebu ala KPK

24 November 2017   20:23 Diperbarui: 24 November 2017   20:46 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil kesimpulan Transparancy International dalam Corruption Perseptions Index (CPI), hingga tahun 2016 lalu Indonesia hanyalah berada pada peringkat 90 dari 176 negara bersama Kolumbia, Liberia, Maroko, serta Makedonia dengan skor 37. Tandanya apa? Korupsi di negeri ini masih tinggi!

Tugas berat memberantas korupsi inilah yang jadi berada di pundak KPK, bersama Kejaksaan dan Kepolisian tentunya. Sejak awal kehadirannya pada tahun 2002, lembaga antirasuah ini memang telah mampu menggemboskan keresahan masyarakat atas maraknya korupsi di negeri ini. 

Semua senang kalau ada aksi KPK ketika sukses melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan membuat koruptor itu mengenakan rompi oranye. Semua media memberitakan.

Sayangnya ekspektasi yang besar masyarakat terhadap kinerja KPK ini, pada perkembangannya juga memunculkan kecenderungan adanya kesan pilih-pilih kasus. 

Bukan tanpa dasar pendapat ini disampaikan. Banyak pihak menanyakan sama, kok. 

Anggota Komisi III DPR Benny K Harman dalam rapat kerja dengan KPK di Senayan mempertanyakan KPK yang terkesan pilih kasus dugaan korupsi dan hanya melakukan OTT (operasi tangkap tangan) di provinsi tertentu.

Biarpun Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menegaskan bahwa KPK tidak pernah melakukan tebang pilih dalam mengusut kasus dugaan korupsi dan operasi tangkap tangan (OTT), sebaliknya sejumlah tindakan KPK malah menunjukkan kesan itu dengan sendirinya.

Ah, yang benar aja? Nah, begini memang yang terlihat.

Mari perhatikan kejadian ditetapkannya Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus e-KTP. Setnov adalah orang kesekian yang mengajukan praperadilan dan mampu menang seperti hal yang dialami Hadi Poernomo tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang atas keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) Rp5,7 triliun pada 1999.

Yang menggelitik, dari tiga kasus itu, KPK hanya mengejar kasus Setnov dan menetapkannya sebagai tersangka untuk kali kedua. Pertanyaannya, kenapa perlakuan ini tak dilakukan pula Hadi Poernomo? 

Tentu wajar jadinya bila si pengacara Setnov, Otto Hasibuan, mengeluhkan hal ini. Mengutip pemberitaan detik.com, Kamis (23/11) dia membandingkan penanganan kasus yang menjerat kliennya itu dengan perkara Hadi Poernomo. Menurutnya, perlakuan KPK berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun