Mohon tunggu...
Joko Supriyono
Joko Supriyono Mohon Tunggu... -

Sekum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Alumni UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kelapa Sawit dan Ekonomi Indonesia (4): Kelapa Sawit Korban Green Protectionism

20 Agustus 2014   03:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:06 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kampanye anti-sawit yang dilakukan oleh big international non government organization (BINGO) dengan alasan yang terus berganti-ganti membuktikan bahwa sebenarnya adalah kampanye pura-pura (bogus). Dengan dalih kesehatan, alasan kualitas, alasan penyelamatan lingkungan, kesetaraan ekonomi, alasan hak asasi manusia (konflik sosial), hingga kerusakan iklim.Tetapi itu semua pada akhirnya selalu berujung pada teriakan ‘hentikan ekspansi industri sawit’.

Suatu hal yang aneh bahwa obyek yang sama ‘diserang’ dengan berbagai alasan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Kelompok bisnis tertentu, (melalui Rountable Sustainable Palm Oil/RSPO) juga terus melakukan pembatasan-pembatasan terhadap perdagangan komoditi minyak sawit.

Pembatasan-pembatasan itu mereka lakukan dengan menetapkan standar-standar sepihak yang rumit, jelimet, dan kemudian menerapkan sertifikasi. Dengan sertifikasi itu, produk minyak sawit baru dianggap memenuhi kriteria telah memenuhi kriteria sustainability mereka, dan bisa dijual di (kawasan perdagangan) Eropa.

Mekanisme sertifikasi dibuat sedemikian rupa sehingga sulit dipenuhi oleh produsen atau dengan tambahan biaya yang tidak sedikit. Dan sejak awal memang sudah bisa ditebak, bahwa badan sertifikasi dan konsultasi berkaitan yang dengan proses sertifikasi itu adalah bisnis lain, yang juga didominasi oleh lembaga-lembaga dari negara maju.

Belum lagi, selalu ada usaha secara sepihak untuk terus menambahkan kriteria baru pada standar yang sudah ada. Ujungnya adalah, penghambatan yang dilakukan di level negara. Saat ini Uni Eropa telah mengeluarkan kebijakan RED (Renewable Energy Directive) yang intinya menetapkan standar yang harus dipenuhi oleh minyak sawit jika ingin memasuki pasar biofuel Eropa.

Kebijakan yang seolah untuk menjamin sustainable process tersebut pada dasarnya adalah bentuk non-tarrif barier. Di balik ini semua, didugabahwa ternyata pemerintah di Eropa telah banyak memberikan subsidi kepada petani-produsen bahan baku biofuel di sana. Tanpa diproteksi seperti ini produksi bahan baku biofuel negara-negara Eropa tidak akan kompetitif saat berhadapkan dengan minyak sawit.

Minyak sawit dengan tingkat daya saing yang lebih tinggi tentu saja akan mengganggu kelangsungan proses produksi dan hidup petani di Eropa. Mereka sesungguhnya menyadari bahwa tidak mungkin untuk tidak menggunakan minyak sawit --baik untuk food maupun fuel, akibat kekurangan suplai (pasokan).

Meski demikian, setidaknya mereka menginginkan agar minyak sawit diproduksi dengan makin tidak kompetitif sebagai akibat berbagai standar dan hambatan non-tariff yang mereka paksakan secara sepihak.

Kerja sama politik bilateral antara Indonesia-Norwegia dalam bentuk kesepakatan letter of intent (LoI), misalnya, adalah bentuk lain usaha negara Eropa itu untuk menghambat ekspansi industri sawit dengan menutup rapat konversi hutan. Padahal negara Republik Indonesia telah memiliki UU yang mengatur soal Tata Ruang maupun UU yang mengatur soal Konversi Hutan.

LoI antara Indonesia-Norwegia seolah mengabaikan kedua UU tersebut. Dan, konversi hutan yang dituding sebagai deforestasi itu harus segera dihentikan dengan kompensasi hanya 1 miliar dollar AS. Nilai kompensasi yang tak seberapa besar itu pun dicairkan dengan cara dicicil, disertai dengan berbagai persyaratan pencairan yang tak kalah rumitnya.

Maka yang terlihat di balik pencairan dana LoI adalah, sebagai negara, Republik Indonesia seolah telah kehilangan harga dirinya. Demi mendapatkan dana kompensasi yang tak seberapa itu, harus rela mengabaikan dua undang-undang yang telah sah berlaku sesuai hukum tata negara. Bahkan harus rela membiarkan negara Norwegia mengatur-atur pemanfaatan lahan hutan yang notabene kekayaan alam milik Indonesia.

Maka tak dapat disangkal lagi, inilah yang disebut Green Protectionism! Suatu rangkaian upaya terselubung negara-negara industri maju untuk melindungi industri dan ekonomi mereka dari tekanan persaingan negara-negara berkembang, dengan cara menggunakan isu-isu lingkungan sebagai tameng ampuh. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun