Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bak Bak Makanan Tak Bertuan

11 Juni 2022   11:44 Diperbarui: 11 Juni 2022   21:08 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap sore di warung lesehan tua seperti biasa kelarisan pelanggan. Lokasinya yang berada di belakang pabrik garmen membuat pemilik restoran dan anak-anaknya sibuk menyajikan hidangan favorit bakmi dan bakso, juga gorengan panas yang paling ditunggu ibu-ibu, yaitu bakwan udang. Racikan bakmi warung ini diakui lebih enak daripada restoran-restoran di kota besar, kata reviewer online. Kuah kaldunya terbuat dari ayam kampung, begitu pula suwiran dagingnya. Dimasak dengan menggunakan anglo dan wok yang sekiranya sudah tahunan tak diganti.

Bakmi dimasak per porsi dengan menggunakan bahan bakar arang, sehingga memunculkan aroma dan rasa yang khas. Pelanggan harus bersabar karena antrian panjang dan lama untuk memesan bakmi. Begitu pula bakso yang dagingnya tentu dari daging sapi, bersama kuahnya di kuali besar. Direview pula minuman yang direkomendasikan, yaitu teh gula batu, tersaji dalam teko atau poci dan cawan dari tanah liat. Karena saking larisnya maka warung itu menerima juga titipan kudapan, pun ketularan diberi bintang 5 oleh reviewer, yaitu bakpao dan bakpia.

Beberapa makanan dan peralatan masak yang disebutkan di atas, yaitu bakmi, bakso, bakwan, bakpia, anglo, wok, teko, poci, dan cawan adalah kata serapan Tionghoa. Masyarakat Indonesia tentu tidak asing dengan pengetahuan ini. Migrasi orang-orang Tiongkok ke nusantara dan kontak budaya dengan masyarakat tempatan telah lama berlangsung, memberikan pengaruh yang tidak sedikit, dan turut membentuk Indonesia masa kini. Bukti tertua kata serapan Tionghoa terkait makanan adalah kata tahu, terpahat pada prasasti Watukura (bertarikh 902 M) berbahasa Jawa Kuno yang kini disimpan di museum di Denmark.

Dalam keping ke-6 prasasti tersebut, jejak kata tahu ditemukan, menunjukkan bahwa kuliner Tionghoa dan kontak budaya antar masyarakat sudah terjalin sebelum tahun 902 Masehi. Hadirnya tahu dan pembuatannya ternyata dipelajari dengan baik oleh masyarakat nusatara, sehingga menghasilkan suatu inovasi berwujud tempe. Kemudian kita berbangga dengan hadirnya tempe, yang mana per tahunnya setiap orang Indonesia mengonsumsi hampir 7 kg tempe. Tak lupa pemerintah sigap mengajukan tempe sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO.

Tak asing juga bagi masyarakat kita yang rajin membaca, bahwa bak dalam kata bakmi, bakso, bakwan, bakpao, dan bakpia dalam bahasa Hokkian berarti daging yang kemudian mengalami penyempitan makna menjadi daging babi, karena pada praktiknya masyarakat Tiongkok banyak menggunakan daging babi dalam berbagai masakannya. Kemudian masyarakat mengkreasikan dan menginovasikan makanan di wilayah berlatar belakang adat dan agama yang berbeda.

Kreativitas dalam masakan merupakan suatu keniscayaan, termasuk untuk berinovasi terhadap makanan. Namun tentu berkonsekuensi kepada penolakan atau penerimaan. Orang Italia akan merasa tersinggung kalau kita menabur nanas sebagai topping pizza, apalagi membuat pizza durian, yang pasti akan membuat mereka mual. Tapi di Tiongkok, pizza durian ini semakin digemari. Suatu penghinaan dan pencemaran besar besaran. Pasalnya durian kini semakin digandrungi oleh generasi muda, hadir di dalam berbagai jajanan dan minuman. Orang Tiongkok yang awalnya tidak suka durian kini mengimpor durian dalam jumlah besar dari Thailand dan Malaysia. Mereka yang tak terbiasa menggonsumsi kopi dan alpukat pun kini tergila-gila, sehingga mengimpor besar-besaran pula dari Indonesia dan Meksiko.

Waktu yang akan menjawab. Dalam masa mendatang kita tidak perlu merasa kaget jika tempe, soto, gudeg, rendang, yang digadang semakin mendunia ini akan dikreasikan dengan berbagai bumbu, saus, daging, sesuai kebiasaan masyarakat di berbagai negara. Bak bak tak bertuan itu telah mengalami perubahan selama beberapa ratus tahun yang lalu, dan seharusnya menjadi suatu pelajaran bagaimana manusia mengkreasikan masakan. kini giliran bagaimana kita menyikapi makanan asli nusantara yang akan dikreasikan oleh siapapun di luar sana.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun