Media ini menjadikan anak sebagai sasaran atau obyek dari sebuah pemberitaan.Tiap hari anak-anak  dibombardir oleh berbagai informasi entah yang bersifat mendidik maupun yang melemahkan  daya imajinasi,inisiatif dan kreativitas.Kita bisa menghitung berapa jumlah tayangan televisi yang sangat berguna dan memberi pengaruh yang bermutu bagi perkembangan anak-anak kita.
Keadaan tersebut lebih diperburuk dengan masih dominannya budaya tutur (lisan) dan nonton daripada budaya baca. Budaya ini menjadi kendala utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat yang seharusnya mampu mengembangkan diri dalam menambah ilmu pengetahuannya secara mandiri melalui membaca.
Akses yang sangat terbatas untuk memperoleh dan membaca buku-buku yang berkualitas.Ketika mengadakan kelas inspirasi dan motivasi di Ngada (desa nenowea dan Legeriwu) pada tanggal 26 Desember 2016, kami sempat melontarkan pertanyaan kepada 300 siswa/i SD dan SMP yang hadir saat itu. "Siapa yang pernah membaca buku dan buku apa yang kalian baca ?".
Semua mengangkat tangan, dan jawaban perihal buku yang di baca beraneka ragam.Dengan bangga mereka menyebut buku bahasa Indonesia, buku IPA, buku Matematika, dan sejumlah buku pelajaran lainnya.Saya mengapresiasi kepolosan dan keberanian  anak-anak ketika menjawab.Pada saat yang sama sayapun terenyuh, karena "hanya" buku-buku itulah (pelajaran) yang bisa di baca oleh mereka.
Gerakan Katakan dengan Buku
Berawal dari opini Andi Mappetahang Fatwa atau yang lebih di kenal dengan sapaan A.M Fatwa yang dimuat dalam harian Kompas pada hari senin, 6 Pebruari 2006, dengan judul yang sama KATAKAN DENGAN BUKU.Tulisan beliau sangat menginspirasi sekaligus memberi motivasi yang kuat kepada saya hingga lahirnya gagasan bahwa Katakan dengan buku akan menjadi lebih bermakna jika dijadikan sebuah gerakan artinya bisa menjadi aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh banyak orang yang secara spesifik bergerak untuk mengumpulkan dan mendonasikan buku kepada anak-anak di seluruh pelosok negeri ini.Ketika beliau wafat pada tanggal 14 Desember 2017 yang lalu kami menemukan sebuah pesan yang sangat berarti tentang betapa kuatnya  sebuah tulisan karena bisa mempengaruhi seseorang.Katakan dengan dengan buku lahir menjadi sebuah gerakan nyata sekitar bulan November 2013.
Jangan katakan dengan bunga, tetapi buku.
Trend yang berkembang di kalangan kaum remaja hingga orang dewasa saat ini adalah memberikan bunga kepada kenalan, sahabat, dan orang-orang terdekatnya pada momen-momen tertentu seperti Valentine day, ulang tahun, perkawinan dll.Memberi bunga memang bukanlah tindakan yang salah, namun alangkah lebih berguna jika media bunga di ganti dengan buku.Refleksi sederhana perihal media pengganti bunga yang dianggap lebih bermakna , pikiran saya saya langsung tertuju pada buku.Gerakan ini lahir karena adanya dorongan yang kuat dari dalam diri untuk memanfaatkan buku sebagai simbol penghargaan dan keakraban dengan sesama bahkan simbol pengikat emosi antara satu dengan yang lainnya. Bertolak dari suatu keyakinan bahwa melalui buku mengalirlah kreativitas dan dinamika intelektual yang merangsang cara berpikir untuk melakukan perubahan. Sejarah dunia adalah sejarah buku karena berbagai perubahan yang terjadi dengan segala akibatnya berasal dari buku.Secara tegas dapat dikatakan bahwa buku merupakan salah satu indikator kemajuan dan jendela peradaban sebuah bangsa.Karena buku peradaban sebuah negara menjadi maju dan karena buku jualah sebuah peradaban tak memberi makna yang berarti ketika buku teralienasi dari kehidupan masyarakatnya(Kompas, Senin 6 Pebruari 2006)