Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita [Memang] Salah

19 September 2010   11:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:07 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi hingga siang tadi, saya menghadiri undangan pesta pernikahan tetangga dekat. Hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Sebagai tetangga dekat, saya tentu berusaha hadir tepat waktu.

Menurut undangan, acara akan dimulai jam 09.00. Artinya, saya masih mempunyai cukup waktu bersiap-siap. Waktu itu, saya masih sibuk melayani tanggapan atas tulisanku di rumah sehat ini. Hingga tak terasa, waktu sudah mendekatinya.

Bergegas saya segera mandi dan berganti baju. Hem batik lengan pendek kesukaanku dan celana gelap serta sandal slop hitam. Rasanya, saya sudah cukup pantas berada di tengah-tengah masyarakat.

Ternyata, hampir semua kursi sudah terisi. Wajar, pemilik hajad adalah seorang ustadz dan takmir masjid saya. Jadi, warga kampung tumpah ruah memeriahkan pesta itu. Terlebih, rombongan besan juga datang dengan rombongan besar. Sekitar 10 mobil pengiring terlihat berjejer di pinggir jalan, tepat di depan rumahku.

Setelah bersalaman dengan tuan rumah, saya bergegas mencari tempat duduk. Maunya tuan rumah, saya diminta duduk paling depan. Namun, saya memilih duduk di belakang saja. Saya itu rikuh atau malu jika duduk di depan. Seperti penggedhe (pejabat) saja. Duduk di belakang, saya pandang lebih nyaman dan leluasa untuk memantau tulisan di kompasiana melalui HP jadulku.

Acara pun dimulai. Pembawa acara (MC) sudah menyampaikan urut-urutan acara resepsi itu. Namun, saya kok kurang berhasrat dengan acara itu. Mata dan penglihatanku justru melihat pemandangan-pemandangan kontradiktif. Ya, pemandangan berbeda jika saya bandingkan di tempat lain yang justru seharusnya.

Para tamu tampak berbaju bagus, bahkan paling bagus.Bapak-bapak dan karang taruna berbaju batik berharga mahal. Sepatu mengkilat bersemir. Dan tak lupa rokok berharga mahal terselip di saku bajunya.

Ibu-ibu pun tidak ketinggalan. Mereka berbusana luar biasa bagusnya. Baju dengan model, corak, dan motif terbaru tampak menghiasai tubuhnya. Busana itu dilengkapi dengan sandal bermerk mahal. Penampilan itu didukung dengan make up alias riasan yang luar biasa cantiknya. Maka, tampaklah mereka bak bidadari.Saya menyebutnya keadaan itu kontradiktif alias bertentangan. Mengapa?

Ketika melaksanakan sholat ke masjid atau pengajian, mereka mengenakan pakaian biasa. Bahkan, pakaian yang sangat biasa. Kadang mereka mengenakan baju lusuh. Bahkan, sering mereka hanya mengenakan kaos yang mungkin juga dikenakan ke sawah. Lalu, mengapa mereka berperilaku demikian?

Ada anggapan bahwa peribadatan (sholat) dilaksanakan lima (5) kali sehari. Artinya, peribadatan itu menjadi kegiatan rutinitas. Akibatnya, mereka berpikir praktis. Untuk apa bersusah-susah berdandan jika sehari saja harus menggunakan lima kali pakaian bagus. Eman-eman pakaian barunya, nanti ndak cepat lusuh.

Kepada Tuhan, kita selalu minta yang banyak, yang bagus, dan yang baru. Namun, saya heran dengan sikap mereka kepada Tuhan. Untuk menyembah Tuhan saja, pakaian yang dikenakan seperti itu. Rasa-rasanya, saya menjadi malu jika berperilaku seperti itu. Akan menghadap pimpinan saja, kita mempersiapkan segalanya dengan sangat baik. Kita takut pimpinan kita nanti marah jika beliau tidak berkenan. Maka, kita serbamenjaga: pakaian, sikap, bahasa, dan laporan.

Dalam pandangan saya, kiranya dan bahkan seharusnya, kita harus menjaga sikap kepada Tuhan lebih santun daripada bersikap kepada sesama manusia. Apapun jabatannya, toh dia masih manusia. Oleh pimpinan, paling kita hanya mendapat pujian atau makian. Tak lebih dari itu. Namun, kita akan mendapat banyak kebaikan jika berperilaku santun kepada Tuhan. Terlebih, ini Bulan Syawal yang berarti meningkat. Usai lebaran, seharusnya kualitas dan frekuensi ibadah kita pun meningkat. Kini, saya kembalikan sikap itu kepada Anda: memilih bersikap lebih santun kepada Tuhan atau kepada pimpinan? Selamat malam dan semoga bermanfaat. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun