Sepekan ini hujan turun hampir saban hari. Dulu, waktu masih kanak-kanak seusia anak sekolah dasar aku bersama abangku memancing ikan saat hujan turun.
Jongkok di bawah rumpun bambu aur di pinggir sungai dan tetap bertahan sekalipun tubuh basah kuyup. Sialnya berjam-jam memancing nyaris tak ada ikan yang didapat kecuali seekor lele sebesar ibu jari.
Ketika hari mulai gelap abangku bangkit dari jongkoknya memberi isyarat pulang. Hanya seekor ikan lele sebesar ibu jari yang bisa kubawa pulang. Dengan tubuh menggigil aku berjalan di belakang abangku menyusuri jalan yang sama seperti saat berangkat siang tadi.
Sampai di rumah tampak lampu petromak menyala terang, menggantung di ruang tengah. Kami berdua menuju pintu dapur yang kebetulan terbuka. Rupanya di ambang pintu Ayah sedang berdiri menunggu. Tanpa ba-bi-bu ketika sudah di dekatnya ayah mengambil paksa joran pancing kami berdua.Â
Seketika terdengar bunyi, "Krek, krek, krek...!" Joran pancing yang terbuat dari bambu itu sejurus sudah patah menjadi tiga lipatan dan tak lama kemudian sudah lumat terbakar di tungku yang apinya sedang menyala. Sesaat kemudian terdengar bunyi gemeretak.
Aku menubruk nenek yang membisu, berdiri mematung di dapur. Tangan lembut nenek mengelus punggungku yang basah kuyup.
"Musim hujan sudah tiba, bukan waktu yang baik untuk memancing ikan di sungai." kata Nenek sambil mendekapku erat.
Aku hanya diam, kemudian menangis terisak. Iya, aku paham dengan kata-kata nenek.
Aku lahir di Desa Nusaherang desa kecil enam kilometer dari kota Kuningan atau tiga kilo meter dari Waduk Darma. Desa yang dilintasi jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan Tasikmalaya.
Terbilang unik di desa yang topografinya berbukit-bukit dengan menyisakan sedikit daerah datar untuk pemukiman dan lahan sawah itu mengalir empat sungai. Dari barat ke timur membentang Cisanggarung. Dari utara mengalir dua sungai, Ciherang dan Cilangkap.